0% found this document useful (0 votes)
25 views

Dhihar Dengan Ta'Liq Fiqh Al-Islém Wa Adillatuhu Dengan Al-Mughnê)

This document discusses the concept of li'an in Islamic marriage law and analyzes perspectives from different Islamic legal schools. It begins by defining li'an and its components. It then compares how the Hanafi, Maliki, Shafi'i, and Hanbali schools discuss li'an and a husband's ability to reject a child or pregnancy using li'an. The key findings are that there are differences of opinion among scholars regarding the husband's testimony during li'an. The Hanafi school says the wife's testimony is invalid without the husband's, while the Shafi'i and Hanbali schools say their joint arrival is not required. The Maliki school requires at least four fair witnesses to be present.

Uploaded by

meitha nur laila
Copyright
© © All Rights Reserved
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
25 views

Dhihar Dengan Ta'Liq Fiqh Al-Islém Wa Adillatuhu Dengan Al-Mughnê)

This document discusses the concept of li'an in Islamic marriage law and analyzes perspectives from different Islamic legal schools. It begins by defining li'an and its components. It then compares how the Hanafi, Maliki, Shafi'i, and Hanbali schools discuss li'an and a husband's ability to reject a child or pregnancy using li'an. The key findings are that there are differences of opinion among scholars regarding the husband's testimony during li'an. The Hanafi school says the wife's testimony is invalid without the husband's, while the Shafi'i and Hanbali schools say their joint arrival is not required. The Maliki school requires at least four fair witnesses to be present.

Uploaded by

meitha nur laila
Copyright
© © All Rights Reserved
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 18

Available at:

http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ua
Penolakan Nasab Anak Li’an .... 77

Penolakan Nasab Anak Li’an dan


Dhihar dengan Ta’liq
(Analisis Komparatif Naskah Kitab
Fiqh al-IslÉm wa Adillatuhu dengan al-
MughnÊ)
Anwar Hafidzi & Binti Musyarrofah
Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Banjarmasin
E-mail: [email protected]

Abstract

This article discusses the concept of li'an in marriage as well as the impact
it gained after it through the Islamic legal view. The emergence of
problems in marriage is caused by the husband accusing his wife of
committing adultery with another man, or the husband not recognizing
the child in the womb of his wife as his child as part of the problems that
developed at this time. This article aims to find out about the ability to
reject a child and pregnancy with li'an in marriage. The article uses
comparative analytic descriptive method that is comparing the discussion
of li'an about the ability to reject child and analyze it. The primary source
is the book of Fiqh al-IslÉm wa Adillatuhu by Wahbah Az-Zuhaily with al-
Mughni by Ibn Qudamah. The findings of this study are there are
differences of opinion among jumhur ulama about the testimony of
husband while doing li'an. According to Imam Hanafi the li'an testimony
from the wife is not valid if there is no testimony from the husband, and
Imam Shafi'i and Hambali argue that it is not required the arrival of
husband and wife together, while Imam Malik requires the arrival of a
group of people in the implementation of li'an, at least four fair people.

Keywords: Li’an, Witness, Pregnant, Child, Adultery.

Dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari,


Banjarmasin.

Vol. 1, No. 2, April 2018, 77-94


78 Anwar Hafidzi & Binti Musyarrofah

Abstrak

Artikel ini membahas mengenai konsep li’an dalam perkawinan serta


dampak yang didapatkan setelahnya melalui pandangan hukum Islam.
Munculnya permasalahan dalam perkawinan disebabkan suami
menuduh istri nya telah berzina dengan laki-laki lain, atau suami tidak
mengakui anak yang ada di dalam kandungan istrinya sebagai anaknya
sebagai bagian dari permasalahan yang berkembang pada saat ini. Artikel
ini bertujuan untuk mengetahui tentang kebolehan menolak nasab anak
dan kehamilan dengan li’an dalam perkawinan. Penulisan artikel ini
menggunakan metode deskriptif analytic komparatif yakni
membandingkan antara pembahasan li’an tentang kebolehan menolak
nasab anak dan menganalisanya. Sumber primernya adalah kitab Fiqh al-
IslÉm wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaily dengan kitab Al-Mughni
karya Ibnu Qudamah. Hasil temuan dari penelitian ini adalah terdapat
perbedaan pendapat diantara jumhur ulama mengenai kesaksian suami
saat melakukan li’an. Menurut Imam Hanafi kesaksian li’an dari istri tidak
sah jika belum adanya kesaksian dari suami, dan Imam Syafi’i dan
Hambali berpendapat bahwa tidak disyaratkannya kedatangan suami
istri secara bersama-sama, sedangkan Imam Malik mensyaratkan
kedatangan sekelompok orang dalam pelaksanaan li’an , paling sedikitnya
empat orang yang adil.

Kata kunci: Li’an, Saksi, Hamil, Anak, Zina.

Pendahuluan

D
imasyarakat seringkali terjadi konflik atau pertentangan
antara suami dan istri yang menyebabkan perceraian1,
atau hubungan yang tidak harmonis diantara keduanya.
Diantara penyebab terjadinya perceraian adalah li’an dan dhihar
yang dilakukan suami terhadap istrinya.2

1 Anik Mukhifah, “Analisis Pendapat Imam Al-Syafi’i Tentang Hakam


Tidak Memiliki Kewenangan Dalam Menceraikan Suami Istri Yang Sedang
Berselisih”, Skripsi, (IAIN Walisongo, 2010), 17.
2 Agoes Dariyo, “Memahami psikologi perceraian dalam kehidupan

keluarga,” Jurnal Psikologi, 2, no. 2 (2004), 94–100.

Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam


Penolakan Nasab Anak Li’an .... 79

Padahal Islam memerintahkan kepada para suami untuk


memperlakukan istrinya dengan sebaik mungkin. Sebagaimana
firman Allah dalam Q.S An-Nisaa: 19 “Dan bergaullah dengan
mereka secara ma’ruf, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka
(maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Apakah boleh suami menolak anak dan kehamilan istri
nya dengan li’an? Dan apakah sah jika suami menzihar istri nya
denga ta’liq?
Li’an adalah lafadz dalam bahasa Arab yang berasal
dari akar kata laÑana, yang secara harfiah berarti "saling
melaknat". Cara ini disebut dalam term li’an karena dalam
prosesinya tersebut kata "laknat" tersebut.
Rukun li’an: Suami, tidak akan jatuh li’an apabila yang
menuduh zina atau yang mengingkari anak itu laki-laki lain
yang tidak mempunyai ikatan pernikahan (bukan suaminya).
Istri, tidak akan jatuh li’an apabila yang dituduh tersebut bukan
istrinya. ShighÉt atau lafadz li’an, yaitu lafadz yang
menunjukkan tuduhan zina atau pengingkaran kandungan
kepada istrinya.3
Sedangkan dhihar adalah ucapan seorang mukallaf
(dewasa dan berakal) kepada istrinya bahwa dia sama dengan
ibunya, namun Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak hanya
ibu akan tetapi bisa juga wanita lain yang haram untuk dinikahi
baik karena hubungan darah, perkawinan, penyusuan maupun
sebab lain, hal ini sebagaimana yang dikatakan pula oleh
Quraish Syihab dalam tafsirnya.
Namun Jumhur Ulama' mengatakan bahwa yang
dikatakan dhihar hanya mempersamakan istri dengan ibu saja
seperti yang termaktub dalam al-Qur'an dan sunnah Rasul.
Sehingga mempersamakan istri dengan wanita muharramat
selain ibu belum dikatakan dhihar. Sedangkan menyamakan istri

3 Anik Mukhlifah, “Analisis pendapat Imam Al-Syafi’i ......, 20.

Vol. 1, No. 2, April 2018, 77-94


80 Anwar Hafidzi & Binti Musyarrofah

dengan ibu atau muharramat untuk suatu penghormatan atau


ungkapan kasih sayang tidak dikatakan dhihar namun perbuatan
tersebut dibenci oleh Rasulullah SAW.4
Diantara rukun dan syarat dhihar, yaitu: laki-laki yang
mengucapkan dhihar harus baligh, berakal, dan muslim
(pendapat Hanafi dan Maliki, Syafi’i dan Hambali tidak
mensyaratkan demikian), istri yang didhihar adalah istri dari
pernikahan yang sah, perkara yang diserupakan adalah ibu dan
termasuk pula seluruh perempuan yang diharamkan untuk
selama-lamanya, lafal dapat bersifat terang-terangan ataupun
berupa sindiran.5

Pembahasan
a) Definisi Li’an
Menurut bahasa li’an adalah mashdar dari al-lÉÑin seperti
al-qÉtil yaitu pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah SWT.
Dinamakan dengan li’an karena apa yang terjadi antara suami
dan istri. Sebab masing-masing mereka melaknat dirinya sendiri
pada kali kelima jika dia berdusta atau suami yang melaknat
dirinya sendiri jika ia berdusta.
Pada dasarnya, saling melaknat ini muncul akibat dari
hubungan suami istri yang saling mencurigai dan menuduh
tanpa ada dasar yang jelas.6 Pada akhirnya saling memunculkan
statement yang menyalahkan antara suami dan istrinya. Tentu
ada beberapa konsekuensi yang harus diterima dalam hal li’an
ini, diantaranya putusnya perkawinan selama-lamanya dan
tidak boleh melakukan rujuk lagi.7

4 Sonia Dora, “Zhihar Prespektif Mufassir Indonesia”, Skripsi,


(Semarang: IAIN Walisongo, 2014).
5 Ibid, 511.

6 Ziamul Umam, “Status Hukum Isteri Pasca Li’an (Studi Komparasi

Fiqih Mazhab Abu Hanifah Dengan Hukum Positif)”, Skripsi, (Semarang: UIN
Walisongo, 2016).
7 Irma Suriyani, “Konsekuensi Hukum Dari Li’an Dalam Hukum

Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam


Penolakan Nasab Anak Li’an .... 81

Madzhab Hanafi dan Hambali8 mendefinisikannya


sebagai kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah yang diiringi
dengan laknat dari pihak suami dan dengan kemarahan dari
pihak istri.
Madzhab Maliki mendefinisikannya sebagai9 sumpah
suami yang Muslim, yang telah akil baigh, dan ia melihat sendiri
perbuatan zina yang dilakukan oleh istrinya, atau penolakan
kehamilan istrinya darinya. Dan si istri bersumpah bahwa suami
berdusta dengan empat kali sumpah, dengan ucapan “Aku
bersaksi dengan nama Allah bahwa aku menyaksikannya
melakukan perbuatan zina” dan kalimat lain yang sejenisnya, di
hadapan hakim.
Madzhab Syafi’i10 mendefinisikannya sebagai kalimat
yang diketahui, yang dijadikan alasan bagi orang yang merasa
terpaksa untuk menuduh orang yang telah mencemari tempat
tidurnya dan mendatangkan rasa malu kepadanya, atau
menolak anak yang dia kandung.
Dalam hukum Islam li’an terbagi menjadi dua macam,
yaitu:
1. Suami menuduh istrinya berbuat zina tetapi ia tidak
memiliki 4 saksi laki-laki yang dapat menguatkan
tuduhannya tersebut.
2. Suami tidak mengakui janin yang di kandung istrinya.11

Kompilasi Hukum Islam (Law Consequences of Li’an in Islamic Law, Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan and Islamic Law
Compilation),” [12] Risalah Hukum: Jurnal Hukum 7, no. 1 (2011). Bandingkan
dengan Nurul Afifah, “Qadzaf Menurut Hukum Islam Dan KHI,” Istinbath:
Jurnal Hukum 12, no. 1 (2015): 153–166.
8 Ad-Durrul Mukhtaar: 2/805, al-Lubaab: 3/74, Kasysyaaful Qinaa’: 5/450

9 Asy-Syarhush Shagir: 2/657, dan halaman selanjutnya

10 Mughnii Muhtaj: 3/367.

11 Setiawan, “Dampak Hukum Sumpah Li'an (Menurut Hukum Islam

dan Hukum Positif di Indonesia),” Skripsi, (Temanggung: STAIN Temanggung,


2011).

Vol. 1, No. 2, April 2018, 77-94


82 Anwar Hafidzi & Binti Musyarrofah

b) Dasar Hukum Li’an


Pada dasarnya hukum melakukan li’an diperbolehkan
dalam agama Islam dikarenakan ingin memperjelas hak dan
kebenaran dalam hubungan suami istri yang sah di mata
hukum. Dalam pandangan al-Qur’an, li’an mubah bagi yang
benar dan laknat Allah Swt., bagi yang berdusta: 12
‫اج ُه ْم َوََلْ يَ ُكن ََّّلُْم ُش َه َداءُ إََِّّل أَن ُف ُس ُه ْم فَ َش َه َادةُ أَ َح ِد ِه ْم أ َْربَ ُع‬
َ ‫ين يَ ْرُمو َن أ َْزَو‬
ِ َّ
َ ‫َوالذ‬
‫اَّلل ََعَلَْْي ِه إِن َكا َن ِم َن‬ َِّ ‫َن لَْعَنََت‬ ِ ِ ِ َّ ‫َّلل ۙ إِنَّه لَ ِمن‬ ِ ِ ٍ
َ ْ َّ ‫ني َوا ْلَام َسُةُ أ‬ َ ‫الصادق‬ َ ُ َّ ‫َش َه َادات ِب‬
ِ ِ ِ ٍ ِ
َ ِ‫اب أَن تَ ْش َه َد أ َْربَ َع َش َه َادات ِِب ََّّلل ۙ إِنَّهُ لَم َن الْ َكاذب‬
‫ني‬ َ ‫ني َويَ ْد َرأُ ََعَنْ َها الْ َْع َذ‬َ ِ‫الْ َكاذب‬
‫ني‬ ِ ِ َّ ‫اَّللِ َعَلَْي ها إِن َكا َن ِمن‬ َّ ‫َوا ْلَ ِام َس َُة أ‬
َ ‫الصادق‬ َ َ ْ َ َّ ‫ب‬ َ‫ض‬ َ ‫َن َغ‬
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka
tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka
persaksian orang itu adalah empat kali bersumpah dengan Nama Allah,
sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah)
yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang
yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas Nama Allah se-sungguhnya suaminya itu
benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang
kelima bahwa laknat Allah atas-nya jika suaminya itu termasuk orang-
orang yang benar.”
Adapun dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai
perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta
penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat
dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah
ditentukan yakni karena kematian, perceraian dan putusan
pengadilan. Penyebab perceraian tersebut lebih dipertegas
dalam rujukan Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum

12 An-Nuur: 6-9.

Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam


Penolakan Nasab Anak Li’an .... 83

Islam (KHI), di mana yang pertama adalah melanggar hak dan


kewajiban.
c) Syarat Li’an
Madzhab Hanafi mensyaratkan untuk suami istri yang
li’an adalah Islam, dapat berbicara, merdeka, dan adil. Dan li’an
dilakukan pada saat masih ada ikatan perkawinan secara
hakikat ataupun hukum, seperti dalam keadaan talak raj’i atau
bÉ’in.
Jumhur berbeda pendapat dengan mereka mengenai
syarat yang mereka tetapkan, kecuali Madzhab Maliki yang
mensyaratkan Islam bagi suami saja, dan mereka sepakat untuk
menetapkan syarat akil baligh. Sah li’an yang dilakukan oleh
orang bisu menurut jumhur selain Madzhab Hanafi.
d) Konsekuensi Akibat Li’an
Adapun akibat hukum dari perbuatan li’an ini, dimana
suami dan istri saling melaknat (li’an), maka akibat yang didapat
dari perbuatan tersebut adalah:
1. Pemisahan Hubungan Suami dan Istri
Apabila suami istri melakukan kesaksian saling menuduh
dan melaknat maka status mereka harus dipisahkan atau
diceraikan. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sepasang suami istri dari
kalangan Anshar saling melaknat (li’an) di hadapan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menceraikan
keduanya.”13
2. Diharamkan Selamanya
Hubungan yang telah dipisahkan dengan saling melaknat,
maka hubungan keduanya tidak diperbolehkan bersama lagi
selama-lamanya. Hal ini didasarkan atas Hadits Nabi, dari
perkataan Sahl bin Sa’ad, “Telah ditetapkan oleh as-Sunnah
untuk dua orang yang saling melaknat (li’an) agar keduanya

13 Lihat dalam riwayat hadits Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari

(IX/458, no. 5314), Shahiih Muslim (II/ 1133, no. 1494 (9).

Vol. 1, No. 2, April 2018, 77-94


84 Anwar Hafidzi & Binti Musyarrofah

dipisahkan dan keduanya tidak boleh bersatu kembali


selamanya.”14
3. Hak Mahar dan Nafkah
Dalam kajian hadits, perempuan yang dilaknat atas tuduhan
berzina, masih berhak mendapatkan mahar dan nafkah iddah
yang ada pada dirinya. Hal ini berdasarkan hadits dari
Ayyub, dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Aku bertanya
kepada Ibnu ‘Umar, Bagaimana hukum-nya seorang suami
yang menuduh istrinya berzina? Ia menjawab, Dahulu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceraikan sepasang
suami istri dari bani ‘Ajlan, beliau bersabda, ‘Allah
mengetahui bahwa salah satu dari kalian berdusta, apakah di
antara kalian ada yang bertaubat?’’ Keduanya menolak.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Allah mengetahui bahwa salah seorang dari kalian berdusta,
apakah di antara kalian ada yang bertaubat? Keduanya tetap
menolak, kemudian beliau menceraikan keduanya.”
Ayyub berkata, “‘Amr bin Dinar berkata kepadaku,
Sesungguhnya di dalam hadits ada sesuatu yang belum
engkau sampaikan (yaitu): “Suami itu berkata, Bagaimana
dengan harta pemberi-anku? Beliau bersabda (atau ada yang
mengatakan), Engkau tidak lagi mempunyai hak atas harta
itu, apabila engkau benar (dengan tuduhan itu),
sesungguhnya engkau telah menggaulinya, namun apabila
engkau dusta, maka harta itu lebih jauh lagi darimu.’15
4. Nasab Anak kepada istri yang dili’an
Apabila anak itu lahir, maka tetap nasabnya ke ibu yang
melahirkannya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar,
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah

14 Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 2104)], Sunan Abi Dawud (VI/337, no. 2233),
al-Baihaqi (VII/410)
15 Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/456, no. 5311), Shahiih

Muslim (II/ 1130, no. 1493), Sunan Abi Dawud (VI/347, no. 2241, 40), Sunan an-
Nasa-i (VI/177)

Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam


Penolakan Nasab Anak Li’an .... 85

meminta sepasang suami istri untuk sumpah li’an, lalu beliau


meniadakan hubungan (nasab) suami dengan anak istrinya.
Kemudian beliau menceraikan keduanya dan menisbatkan
anak kepada istri yang dili’an.”16
5. Saling mewarisi
Mula’anah berhak mendapatkan warisnya, tapi hanya
ditetapkan antara istri dan anaknya saja Berdasarkan
perkataan Ibnu Syihab dalam hadits Sahl bin Sa’ad:
“…Menjadi ketetapan hukum (Sunnah) setelah kejadian
mereka berdua, untuk menceraikan suami istri yang saling
melaknat ke-tika istri sedang hamil, maka anaknya
dinisbatkan kepada ibu-nya.” Ia melanjutkan, “Kemudian
berlaku hukum (Sunnah) dalam pewarisan istri bahwasanya
ia mewarisi anaknya dan anaknya me-warisi darinya,
sebagaimana yang Allah tetapkan baginya.”17

Syarat Penolakan Nasab Anak dan Kehamilan


Para fuqaha saling berselisih pendapat mengenai waktu
penolakan nasab anak dan penolakan kehamilan.
Abu Hanifah berpendapat18 jika suami menolak anak
yang dilahirkan oleh istrinya setelah kelahiran atau pada masa
dia tengah menerima ucapan selamat, atau pada saat dia tengah
membeli perlengkapan melahirkan, maka sah penolakannya,
dan dia melakukan li’an dengan penolakannya tersebut.
Madzhab Maliki menetapkan dua syarat19 bagi sah nya
li’an dan penolakan anak, yaitu:

16 Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/460, no. 5315), Shahiih


Muslim (II/ 1132, no. 1494), Sunan Abi Dawud (VI/348, no. 2242), Sunan at-
Tirmidzi (II/338, no. 1218), Sunan an-Nasa-i (VI/178), Sunan Ibni Majah (I/669,
no. 2069).
17 Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/452, no. 5309), Shahiih

Muslim (II/ 1129, no. 1492), Sunan Abi Dawud (VI/339, no. 2235)
18 Fathul Qadiir: 3/260, al-Kitaab Ma’a al Lubaab: 3/79

19 Al-Qawaaniinul Fiqhiyyah, hlm. 244, asy-Syarhush Shaghiir; 2/660-663

Vol. 1, No. 2, April 2018, 77-94


86 Anwar Hafidzi & Binti Musyarrofah

1. Suami mengklaim bahwa dia tidak menyetubuhi istrinya


dalam masa yang membuat lahir seorang anak.
2. Dia menolak anak sebelum dilahirkan. Jika dia diam walau
hanya sehari tanpa alasan sampai istri melahirkan, maka dia
dikenakan hukuman hadd dan dia tidak melakukan li’an .
Madzhab Syafi’i20 membolehkan penolakan kehamilan
dan menunggu masa melahirkannya. Penolakan terhadap nasab
dilakukan dengan segera, karena li’an ini disyaratkan untuk
menghilangkan kemudharatan yang pasti terjadi, seperti hal nya
penolakan barang karena adanya cacat.
Madzhab Hambali seperti madzhab Hanafi, tidak
membolehkan penolakan kehamilan sebelum kelahiran. Mereka
menetapkan syarat sebagaimana madzhab Syafi’i, yaitu
penolakan dilakukan setelah kehamilan.
Wahbah az-Zuhaily menyimpulkan, bahwa para fuqaha
memiliki dua pendapat mengenai penolakan kehamilan:
Madzhab Hanafi dan Hambali memiliki pendapat tidak
boleh menolak kehamilan, karena adanya kemungkinan istri
tidak hamil, sedangkan madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat
boleh menolak kehamilan dengan hadits Hilal bin Umayyah
bahwa dia menolak kehamilan istrinya.
Ibnu Qudamah berkata “Pendapat ini sahih karena
sesuai dengan zahir hadits-hadits. Apa yang bertentangan
dengan hadits tidak diperhatikan, siapa pun yang
mengatakannya.”
Adapun Ibnu Qudamah dalam kitab nya menjelaskan
secara rinci mengenai boleh atau tidaknya menolak nasab anak
dan kehamilan ini, disesuaikan dengan keadaan yang terjadi,
seperti hal nya:
1. Jika suami tidak mukallaf, dan ia melontarkan tuduhan
terhadap istrinya maka tuduhan itu tidak sah karena ia masih
berstatus anak-anak, dan apabila istri melahirkan seorang

20 Mughni al-Muhtaaj: 3/380, al-Muhadzdzab: 2/123

Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam


Penolakan Nasab Anak Li’an .... 87

anak, apabila ia berusia kurang dari 10 tahun maka


anak tersebut nasabnya tidak dapat dipertemukan dengan
dirinya. Karena Allah tidak pernah memberlakukan
kebiasaan bahwa anak di bawah umur 10 tahun dapat
memiliki seorang anak, sehingga kepemilikan anak itu
menjadi hilang dari dirinya, seperti kasus juika wanita
melahirkan seorang anak kurang dari 6 bulan sejak
perkawinannya.
2. Dalam kasus diatas jika suami nya berusia lebih dari 10 tahun,
maka penerimaan nasab anak adalah hak yang wajib, karena
menurut Ibnu Qudamah penerimaan nasab adalah cukup jika
hal itu memungkinkan, sedangkan usia baligh tidak bisa
ditetapkan kecuali dengan adanya faktor yang kongkret.21
Adapun mengenai syarat penolakan nasab anak,
madzhab Hanafi menetapkan enam syarat:22
1. Keputusan qadhi untuk memisahkan suami-istri.
2. Penolakan nasab anak dilakukan langsung setelah kelahiran,
atau satu atau dua hari sesudahnya, atau sampai tujuh hari
yang biasanya merupakan waktu pemberian ucapan selamat.
3. Tidak ada pengakuan darinya mengenai pengakuan nasab
anak walaupun hanya berupa isyarat, seperti penerimaannya
terhadap ucapan selamat atas kelahiran anak.
4. Si anak dalam keadaan hidup waktu saat perceraian hukum.
5. Jangan sampai lahir anak yang lain dari satu perut setelah
terjadinya pemisahan.
6. Tidak dikenakan hukuman dengan penetapan nasab anak
secara syariat.

21 Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), 137.


22 Al-Badaa’i: 3/346-248, Haasyiyatu Ibn Abidin: 2/811, al-Lubaab: 3/79.

Vol. 1, No. 2, April 2018, 77-94


88 Anwar Hafidzi & Binti Musyarrofah

Biografi Singkat Wahbah Az-Zuhaily dan Ibnu Qudamah


a) Wahbah Zuhaili
Wahbah az-Zuhaili adalah cerdik cendikia (‘alim
allamah) yang menguasai berbagai disiplin ilmu (mutafannin).
Seorang ulama fikih kontemporer peringkat dunia, pemikiran
fikihnya menyebar ke seluruh dunia Islam melalui kitab-kitab
fikihnya. Beliau dilahirkan di desa Dir `Athiah, utara Damaskus,
Syiria pada tahun 1932 M. dari pasangan Mustafa dan Fatimah
binti Mustafa Sa`dah. Ayah beliau berprofesi sebagai pedagang
sekaligus seorang petani.23
Wahbah Zuhaili dibesarkan di lingkungan ulama-ulama
mazhab Hanafi, yang membentuk pemikirannya dalam mazhab
fiqih. Walaupun bermazhab Hanafi, namun beliau tidak fanatik
terhadap fahamnya dan senantiasa menghargai pendapat-
pendapat mazhab lain. Hal ini, dapat dilihat dari bentuk
penafsirannya ketika mengupas ayat-ayat yang berkaitan
dengan fiqih. 24
Beliau mulai belajar Al Quran dan sekolah ibtidaiyah di
kampungnya. Dan setelah menamatkan ibtidaiyah di Damaskus
pada tahun 1946 M. beliau melanjutkan pendidikannya di
Kuliah Syar’iyah dan tamat pada 1952 M. Ketika pindah ke Kairo
beliau mengikuti kuliah di beberapa fakultas secara bersamaan,
yaitu di Fakultas Syari'ah, Fakultas Bahasa Arab di Universitas
Al Azhar dan Fakultas Hukum Universitas `Ain Syams.
Beliau memperoleh ijazah sarjana syariah di Al Azhar
juga memperoleh ijazah takhassus pengajaran bahasa Arab di Al
Azhar pada tahun 1956 M. Kemudian memperoleh ijazah
Licence (Lc) bidang hukum di Universitas `Ain Syams pada
tahun 1957 M, Magister Syariah dari Fakultas Hukum

23 A. Faroqi, “Analisis ayat-ayat mutasyabihat tafsir Al Munir karya


Wahbah Az-Zuhaili”, Skripsi, (Semarang: UIN Walisongo, 2016), 28.
24 Isnan Luqman Fauzi, “Syibhul ‘Iddah bagi Laki-Laki: Studi Analisis

Pendapat Wahbah Zuhaili”, Skripsi, (Semarang: IAIN Walisongo,


2012), 30.

Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam


Penolakan Nasab Anak Li’an .... 89

Universitas Kairo pada tahun 1959 M dan Doktor pada tahun


1963 M. Gelar doktor di bidang hukum (Syariat Islam) beliau
peroleh dengan predikat summa cum laude (Martabatus Syarof
Al-Ula) dengan disertasi berjudul "Atsaru al-Harbi Fi al-Fiqhi al-
Islami, DirÉsah al-MuqÉranah Baina al-Madzahib al-TsamÉniyyah Wa
al-Qonun Al-Dauli Al-'Am" (Beberapa pengaruh perang dalam
fiqih Islam, kajian perbandingan antara delapan madzhab dan
undang-undang internasional).25
b) Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi lahir di desa Jamma’il, salah
satu daerah bawahan Nabulsi, dekat Baitul Maqdis, Tanah Suci
di Palestina pada tahun 541 H/1147 M. Hijrah ke Damaskus
bersama keluarganya pada usia 20 tahun. Beliau adalah ulama
besar di bidang ilmu fiqh pada masa kelima dari madzhab
Hambali, yang kitab-kitab fiqihnya merupakan standar bagi
madzhab tersebut. Nama lengkapnya adalah Syaikh
Muwaffaquddin Abu Muhammad, Abdullah bin Ahmad bin
Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi Al Hambali. 26
Di Damaskus mereka singgah di Masjid Abu Salih, di
luar gerbang timur. Setelah dua tahun di sana, mereka pindah ke
kaki gunung Qaisun di Shalihia, Damaskus. Di masa-masa itu
Muwaffaquddin menghafal al Quran dan Mukhtasar Al Khiraqi
(fiqih madzab Imam Ahmad bin Hambal) kepada ayahnya,
Abul’Abbas, seorang ulama yang memiliki kedudukan mulia
serta seorang yang zuhud. Kemudian ia berguru kepada Abu al
Makarim bin Hilal, Abu al Ma’ali bin Shabir dan Ulama Ulama
Damaskus lainnya.

25Abu Samsudin, “Wawasan Al-Quran Tentang Ulu Al-Albab: Studi


Komparasi Terhadap Pemikiran Wahbah Al-Zuhaily Dalam Tafsir Al-Munir
Dengan M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah”, Skripsi, (Surabaya: UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2016), 1.
26 Agus Khanif, “Analisis Pendapat Ibnu Qudamah Tentang

Diperbolehkannya Seorang Perempuan,” Skripsi, (Semarang: UIN Walisongo,


2012).

Vol. 1, No. 2, April 2018, 77-94


90 Anwar Hafidzi & Binti Musyarrofah

Pada tahun 561 H, ia pergi ke Baghdad ditemani saudara


sepupunya, Abdul Ghani al-Maqdisi (anak saudara laki-laki
ibunya). Di kota itu juga ia berguru kepada Imam Hibatullah Ibn
Ad-Daqqaq dan Ulama lainnya, di antaranya Ibnu Bathi
Sa’addullah bin Dujaji, Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Ibnu Taj
al-Qara, Ibnu Syafi’, Abu Zur’ah, dan Yahya Ibnu Tsabit.
Selanjutnya ia tidak pisah dengan Abul Fatah Ibn Manni
untuk mengaji kepada beliau madzab Ahmad dan perbandingan
madzab. Ia menetap di Baghdad selama 4 tahun. Pada tahun 578
H ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji di Mekkah,
ia juga menyempatkan untuk menuntut ilmu kepada Syaikh al-
Mubarak bin Ali bin al-Husain bin Abdillah bin Muhammad al-
Thabakh alBaghdadi (wafat 575 H), seorang ulama besar
Mazhab Hanbali di bidang fiqih dan ushul fiqih. Kemudian ia
kembali lagi ke Baghdad menuntut ilmu kepada Ibnu al-Manni
di bidang fikih dan ushul fikih dalam Madzhab Hanbali. Setelah
satu tahun ia kembali ke Damaskus untuk mengembangkan
ilmunya dengan mengajar dan menulis buku. 27
Sekembalinya di Damaskus, dia mulai menyusun
kitabnya “Al-Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi”. Kitab ini
tergolong kitab kajian terbesar dalam masalah fiqih secara
umum.2 Sampai-sampai Imam Izzudin Ibn Abdus Salam as-
Syafi’i yang digelari Sulthanul Ulama mengatakan tentang kitab
ini: ‘’Saya merasa kurang puas dalam berfatwa sebelum saya
menyanding kitab “al-Mughni’’. Banyak para santri yang
menimba ilmu hadis kepadanya, fiqih, dan ilmuilmu lainnya.
Dan banyak pula yang menjadi ulama fiqih setelah mengaji
kepadanya.
Ibnu Qudamah selain sibuk dengan mengajar dan
menulis buku, sisa hidupnya juga diabadikannya untuk
menghadapi perang salib melalui pidatopidatonya yang tajam

27M. Khoirul Hadi Al-Asy’ari, “Pandangan Ibn Qudamah Tentang


Wakaf Dan Relevansinya Dengan Wakaf Di Indonesia,” Li Falah: Jurnal Studi
Ekonomi dan Bisnis Islam 1, no. 1 (2016): 48–67.

Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam


Penolakan Nasab Anak Li’an .... 91

dan membakar semangat umat Islam. Ia juga dikenal sebagai


ulama’ besar Hanabilah yang zuhud, wara’, dan ahli ibadah serta
mengusai semua bidang ilmu, baik Al-Qur’an dan tafsirnya,
ilmu hadis, fiqh dan ushul fiqh, faraidh, nahwu, hisab dan lain
sebagainya. 28
Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu, tepat di hari Idul
Fithri tahun 629 H. Ia dimakamkan di kaki gunung Qasiun di
Shalihiya, di sebuah lereng di atas Jami’ Al-Hanabilah (masjid
besar para pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal). Ibnu
Qudamah dikenal oleh Ulama sezamannya sebagai seorang
ulama besar yang menguasai berbagai bidang ilmu, memiliki
pengetahuan yang luas tentang persoalan-persoalan yang
dihadapi umat Islam, cerdas dan dicintai temanteman
sejawatnya.29

Analisa Komparatif Wahbah Zuhaili dan Ibn Qudamah


Terdapat perbedaan diantara para fuqaha mengenai
penolakan nasab anak dan kehamilan, sehingga Wahbah
Zuhaily dalam kitabnya menyimpulkan bahwa para fuqaha
memiliki dua pendapat mengenai penolakan kehamilan, yaitu:
Madzhab Hanafi dan Hambali memiliki pendapat tidak boleh
menolak kehamilan, karena adanya kemungkinan istri tidak
hamil, sedangkan madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat
boleh menolak kehamilan dengan hadits Hilal bin Umayyah
bahwa dia menolak kehamilan istrinya, sehingga Rasulullah pun
menolaknya darinya.

28 Muhammad Taqi Usmani, “Sukuk and their contemporary


applications,” in Translated from the original Arabic by Sheikh Yusuf Talal
DeLorenzo, AAOIFI Shari’a Council meeting, Saudi Arabia, 2007,
http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads/2009/11/Sukuk-and-
their-Contemporary-Applications.pdf.
29 talak, Khanif, Dan Asy-Syakhsiyah, “Analisis Pendapat Ibnu

Qudamah Tentang Diperbolehkannya Seorang Perempuan.”

Vol. 1, No. 2, April 2018, 77-94


92 Anwar Hafidzi & Binti Musyarrofah

Ibnu Qudamah pun membenarkan yang demikian, dan


hendaknya penolakan nasab anak dan kehamilan ini dipercepat
setelah suami mengetahui perihal kehamilan atau kelahiran
anak. Ia juga menjelaskan dalam kitabnya bahwa mengenai
penolakan nasab anak dan kehamilan dapat dilihat berdasarkan
keadaannya.
Seperti hal nya: Jika suami tidak mukallaf, dan ia
melontarkan tuduhan terhadap istrinya maka tuduhan itu tidak
sah karena ia masih berstatus anak-anak, dan apabila istri
melahirkan seorang anak, maka dilihat lagi dari usia nya, apabila
suami berusia kurang dari 10 tahun maka anak tersebut
nasabnya tidak dapat dipertemukan dengan dirinya. Karena
Allah tidak pernah memberlakukan kebiasaan bahwa anak di
bawah umur 10 tahun dapat memiliki seorang anak, sehingga
kepemilikan anak itu menjadi hilang dari dirinya, seperti kasus
juika wanita melahirkan seorang anak kurang dari 6 bulan sejak
perkawinannya.
Dalam kasus diatas jika suami nya berusia lebih dari 10
tahun, maka penerimaan nasab anak adalah hak yang wajib,
karena menurut Ibnu Qudamah penerimaan nasab adalah
cukup jika hal itu memungkinkan, sedangkan usia baligh tidak
bisa ditetapkan kecuali dengan adanya faktor yang kongkret.

Kesimpulan
Perceraian secara fasakh tidak dinyatakan secara terang di
dalam al-Qur'an. Namun prinsipnya dapat dilihat dalam Surah
al-Baqarah ayat 231 dan al-Nisa' ayat 35. la berbeda sekali
dengan cara-cara pembubaran yang lain seperti talaq (Surah al-
Baqarah ayat 229), khulu’ (Surah al-Baqarah ayat 229), zihar
(Surah al-Mujadalah ayat 1-4), ila' (Surah aI-Baqarah ayat 226)
dan li’an , (Surah al-Nur ayat 6-9) yang telah disebut di dalam al-
Qur’an dengan jelasnya.
Fasakh diterima sebagai salah satu cara untuk
membubarkan perkawinan berasaskan kepada prinsip yang

Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam


Penolakan Nasab Anak Li’an .... 93

terkandung dalam hadis Nabi s.a.w. yang berbunyi: (La dharar


wa la dhirar). Pembubaran perkahwinan melalui fasakh
memerlukan campu rtangan qadhi (hakim) atas sebab-sebab
yang biasanya diketengahkan oleh seseorang istri. Kerana itu,
sebagai contohnya Abu Zahrah menggunakan istilah al-Talaq bi
al-Hukmi al-Qadhi, manakala az-Zuhayli pula menyebutnya
sebagai at-Tafriq al-Qada'i apabila mereka membincangkan
tentang fasakh.
Tidak ada perbedaan antara pendapat Wahbah Zuhaily
dan Ibnu Qudamah mengenai penolakan nasab anak dan
kehamilan, hanya saja Ibnu Qudamah lebih merincikan dengan
menyebutkan batasan usia bagi suami yang me li’an istrinya,
yang mana jika suami masih berada pada usia anak-anak atau
berada dibawah usia 10 tahun maka nasab terlepas dari pada
dirinya. Namun jika suami berada di atas usia 10 tahun, maka
wajib hukumnya untuk menerima nasab anak itu.

Daftar Pustaka
Afifah, Nurul. “Qadzaf Menurut Hukum Islam Dan KHI.”
Istinbath: Jurnal Hukum, Vol. 12, No. 1 (2015).
Al-Asy’ari, M. Khoirul Hadi. “Pandangan Ibn Qudamah Tentang
Wakaf Dan Relevansinya Dengan Wakaf Di Indonesia.” Li
Falah: Jurnal Studi Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. 1, No. 1
(2016).
Dariyo, Agoes. “Memahami psikologi perceraian dalam kehidupan
keluarga”. Jurnal Psikologi, Vol. 2. No. 2 (2004).
Faroqi, A. 2016. “Analisis ayat-ayat Mutasyabihat Tafsir Al Munir
karya Wahbah Az-Zuhaili.” Skripsi. Semarang: UIN
Walisongo.
Fauzi, Isnan Luqman. 2012. “Syibhul ‘Iddah bagi Laki-Laki: Studi
Analisis Pendapat Wahbah Zuhaili.” Skripsi. Semarang:
IAIN Walisongo.

Vol. 1, No. 2, April 2018, 77-94


94 Anwar Hafidzi & Binti Musyarrofah

Khanif, Agus. 2012. “Analisis Pendapat Ibnu Qudamah Tentang


Diperbolehkannya Seorang Perempuan”. Skripsi.
Semarang: UIN Walisongo.
Mukhifah, Anik. 2010. “Analisis pendapat Imam Al-Syafi’i tentang
hakam tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan
suami istri yang sedang berselisih”. Skripsi. Semarang: IAIN
Walisongo.
Qudamah, Ibnu. 2013. Al-Mughni, Juz 11, Cet. 1. Jakarta: Pustaka
Azzam.
Setiawan. 2011. “Dampak Hukum Sumpah Lian (Menurut Hukum
Islam dan Hukum Positif di Indonesia). Skripsi.
Temanggung: STAIN Temanggung.
Suriyani, Irma. “Konsekuensi Hukum Dari Li’an Dalam Hukum
Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Law
Consequences of Li’an in Islamic Law, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan and Islamic Law
Compilation).” [12] Risalah Hukum: Jurnal Hukum, Vol. 7,
No. 1 (2011).
Samsudin, Abu. 2016. “Wawasan Al-Quran Tentang Ulu Al-Albab:
Studi Komparasi Terhadap Pemikiran Wahbah Al-Zuhaily
Dalam Tafsir Al-Munir Dengan M. Quraish Shihab Dalam
Tafsir Al-Misbah”. Thesis. Surabaya: UIN Sunan Ampel.
Umam, Ziamul. 2016. “Status Hukum Istri Pasca Li’an (Studi
Komparasi Fiqih Mazhab Abu Hanifah dengan Hukum
Positif).” Semarang: UIN Walisongo.
Usmani, Muhammad Taqi. “Sukuk and their contemporary
applications.” In Translated from the original Arabic by Sheikh
Yusuf Talal DeLorenzo, AAOIFI Shari’a Council meeting, Saudi
Arabia, 2007. http://www.iefpedia.com/english/wp-
content/uploads/2009/11/Sukuk-and-their-Contemporary-
Applications.pdf.
Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Vol. 9. Jakarta:
Gema Insani.

Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam

You might also like