Corak Adabi Ijtima'i Modern
Corak Adabi Ijtima'i Modern
IJTIMA>’I> MODERN
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Madzahib Tafsir
HALAMAN JUDUL
Dosen Pengampu:
Dr. Abd. Kholid, M. Ag.
Oleh:
NUR FIATIN HAFIDH
NIM. 02040521046
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2022
1
PENDAHULUAN
Corak ini terus berlanjut sampai abad dua puluh dengan munculnya para
pemikir reformis modernis meskipun dengan beberapa titik perbedaan. Pada corak
adabi> ijtima>’i> modern, selain melibatkan teori Barat, terdapat pula proses
penyeimbangan konteks dan kontekstualisasi atas teks yang diinterpretasikan.
Studi kontekstualisasi ini kemudian berhasil menelurkan teori pembacaan baru
terhadap al-Qur‟an.
PEMBAHASAN
Latar Belakang Munculnya Corak Adabi> Ijtima>’i> Modern
Seruan pembaharuan yang dilakukan oleh M. Abduh pada abad dua puluh
rupanya memberikan kontribusi yang besar bagi dunia Islam. Bagaimana tidak,
generasi yang hidup belakangan mulai membuka diri untuk mereformasi
pemikiran Islam yang kaku menuju nilai ideal Islam yang dinamis. Para tokoh
reformis modern memahami bahwa al-Qur‟an merupakan kitab suci yang memuat
ide, gagasan dan nilai yang semestinya dapat diterapkan dalam setiap generasi.
Mereka berusaha menengahi adanya polarisasi antara kelompok konservatif dan
kelompok modern dengan pembacaan al-Qur‟an modern.
1
Muḥammad Ḥusein al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassiru>n, jilid. 1 (Kairo: Matabah Wahbah,
tt), 9-10.
3
Perintah ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada masa nabi, para
anggota perang membawa bekal, baju, dan persenjataan sendiri sehingga adalah
hal yang wajar jika mereka berhak atas harta rampasan tersebut. Berbeda halnya
dengan kondisi perang pada masa pemerintahan Umar ibn al- Khaṭṭāb. Pada saat
itu, administrasi kenegaraan telah terbentuk. Negara menyiapkan segala
perlengkapan perang untuk ummat Islam yang pembiayaannya diambil dari Bait
al-Māl. Inilah alasan sang ami>r al-mu’mini>n menyalurkan harta rampasan ke Bait
al-Māl.
2
Abdullah Saeed, Pengantar Studi al-Qur’an, cet. 1 (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016),
312-313.
4
3
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-
Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2005), xiii-xiv.
4
Ibid. 23.
5
Hermeneutika adalah teori filsafat yang dipakai untuk menginterpretasikan makna teks. Ilmu ini
berperan besar dalam ilmu sejarah dan kitab suci. Secara umum, perkembangan ilmu hermeneutika
terpecah ke dalam empat babak. Satu, hermeneutika klasik yang menempatkan kitab suci sebagai
pusat yang terikat. Artinya, seorang pembaca harus mencari makna teks sesuai dengan maksud
penulisnya serta menghilangkan hal-hal yang dapat mencegah pemahaman terhadap teks. Konsep
hermeneutika klasik tidak jauh berbeda dengan cara penafsiran mufasir salaf. Salah satu tokoh dari
teori ini adalah Dann Hauer yang menerbitkan buku hermeneutika pertama kali pada tahun 1654
M. Dua, hermeneutika al-ru>ma>nisiyyah. Salah satu pentolan dari ilmu ini adalah Scheliermacher
(w. 1834). Tiga, hermeneutika Dilthey (w. 1911) yang menjadi dasar kajian tentang manusia.
Empat, hermeneutika filsafat yang dimotori oleh Martin Heidegger (w.1976) dan dikembangkan
oleh muridnya, Gadamer. Lihat, Dalāl bint Kuwīrān ibn Huwaymal al-Baqīlī al-Salamī,”al-Tajdi>d
fi> al-Tafsi>r fi al-‘As}r al-H}adi>th: Mafhu>muhu> wa D}awa>bit}uhu> wa Ittija>ha>tuhu>”, (Disertasi—Prodi
Tafsir dan Ulūm al-Qur’ān Jāmi’ah Umm al-Qurā, Mekkah, 2014), 226-236.
6
Ibid. 238.
5
7
Ibid. 226-236.
8
Farid Essack, Al-Qur’an: Liberation and Pluralism dalam Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-
Qur’an: Tema-Tema Kontroversial (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 14-15.
9
Faiz, Hermeneutika al-Qur’an…, 17.
6
10
Ibid.16.
11
Ibid. 22-23.
7
dengan meminjam teori ilmiah Barat adalah langkah yang bisa diterima selama
prinsip kemaslahatan menjadi tolak ukur, serta didukung dengan
penyeimbangan semangat teosentris dan antroposentris.12
2. Membuka pintu ijtihad dan menghentikan imitasi (taqli>d)13 buta
Di antara faktor keterbelakangan peradaban muslim adalah sikap stagnan
terhadap warisan ulama terdahulu, yang di dalamnya -harus diakui- memuat
unsur khurafa>t dan isra>i>liyya>t yang tidak layak djadikan acuan. Untuk
mengakhiri ketebelakangan ini, para tokoh reformis menyeru ummat Islam
untuk memanfaatkan daya akal dengan membuka pintu ijtihad agar wajah
Islam tidak rigid dan statis. Bahkan M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa
seandainya para sahabat hidup pada masa kini, mereka juga akan melakukan
pemaknaan baru terhadap al-Qur‟an sesuai dengan tuntutan realitas yang
dihadapi.14
3. Ranah kajian lebih luas
Dalam tafsir tekstualis, pemaknaan teks dipusatkan pada kajian linguistik
saja. Sedangkan dalam tafsir kontekstualis, ranah kajiannya lebih luas, meliputi
hermeneutika, sastra, analisis sosial, analisis sejarah, dan yang sejenisnya.15
4. Memberdayakan teks dan pembaca sebagai pusat makna
Menurut Abdul Wahid, pembacaan klasik umumnya menempatkan Allah
sebagai pusat makna. Mereka menafsirkan al-Qur‟an seolah-olah sebagai juru
bicara Tuhan. Barang siapa yang menolak atau memiliki perspektif yang
berbeda dituduh sesat dan diklaim masuk neraka. Membedai hal tersebut,
12
M. Arfan Mu‟ammar dkk, Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/ Outsider (Yogyakarta:
IRCSiCoD, 2017), 216.
13
M. Abduh membagi kelompok taqlid ke dalam dua bagian. Pertama, kelompok fanatik ekstrimis
(al-muta’as}s}ibi>n al-mutat}arrifi>n), yaitu kelompok yang memandang pendapat ulama salaf seperti
nas al-Qur‟an kemudian mensakralkannya. Kelompok ini tidak lagi merasa perlu untuk cross-
check langsung terhadap sumber aslinya, yaitu al-Qur‟an dan hadis karena menganggap bahwa
pendapat ulama adalah pasti benar. Kedua, kelompok peniru moderat (al-muqallidi>n al-
mu’tadili>n), yaitu kelompok yang memfilter pandangan imam madzhab dengan jujur dan teliti.
Jika sesuai dengan sumber Islam, mereka mengikutinya. Begitupun, jika pendapat imam tersebut
tidak didasari dengan dalil yang kuat dari sumber Islam, mereka menolaknya. Lihat, „Abd al-Majīd
„Abd al-Salām al-Muḥtasib, Ittija>ha>t al-Tafsi>r fi> ‘As}r al-Ra>hin, cet. 3 (Amman: al-Nahḍah al-
Islāmiyyah, 1982), 143.
14
M. Quraish Shihab, “Tafsir Kontekstual itu Mutlak Diperlukan” dalam Shihab, Kontekstualitas
al-Qur’an…, 24.
15
Saeed, Pengantar Studi al-Qur’an, 318-319.
8
16
Mu‟ammar, Studi Islam Kontemporer…, 158.
17
Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulumul Qur’an (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), 244.
18
Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an…, 9 dan 15.
19
Ibid. 23.
9
20
Mu‟ammar, Studi Islam Kontemporer..., 208.
21
Ibid. 318-319.
10
22
Mu‟ammar, Studi Islam Kontemporer…, 185.
23
Ziba Mir Hosseini, Justice, Equality, and Muslim Family Law; New Ideas, New Prospects (New
York: I.B. Tauris, tt), 1-34.
11
24
Moḥammad Arkoun, “The Unthought in Contemporary Islamic Thought”, The American
Journal of Islamic Social Science, vol. 21, no. 1, 100-102.
12
rasional. Dua, analisa realitas sosial. Analisa ini digunakan untuk mengetahui
latar sosiologis saat teologi terbentuk serta pengaruhnya terhadap masyarakat
di lingkungan tersebut. Analisa ini dapat membantu mengarahkan orientasi
teologi modern.25
4. Naṣr Ḥāmid Abū Zayd dan al-qira>ah al-siya>qiyyah
Naṣr Ḥāmid Abū Zayd sangat gelisah ketika menghadapi kelompok yang
menjadikan al-Qur‟an dan hadis untuk kepuasan dan kepentingan pribadi
mereka sendiri. Meskipun pemikirannya mendapat hujan kritik dari banyak
orang, tapi hal tersebut sama sekali tidak menyurutkan semangat ijtihadnya
untuk turut andil menyikapi persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
Dalam perspektifnya, sudah saatnya melakukan pembacaan yang produktif
terhadap al-Qur‟an agar dapat melahirkan pemahaman yang humanis, bukan
yang dispotis dan sadis -sebagaimana pemahaman yang berkembang saat itu-.
Berangkat dari hal tersebut, ia kemudian mengenalkan sebuah metode
yang disebut dengan pembacaan kontekstual (al-qira>ah al-siya>qiyyah). Metode
ini merupakan pengembangan dari metode uṣūl fiqih dengan memperluas
kajian historis tidak terbatas pada asba>b al-nuzu>l ayat saja, melainkan juga
kepada konteks runut pewahyuan, konteks narasi, struktur linguistik, serta
melihat realitas sosial yang terjadi saat ayat tersebut turun. Kecuali itu, pada
proses penelusuran sebab turun ayat, Naṣr Ḥāmid Abū Zayd juga berupaya
untuk menemukan pesan khusus yang menjadi makna historis dari suatu ayat
sekaligus pesan umum yang menjadi nilai signifikansi untuk diterapkan pada
masa sekarang.26
5. M. Syaḥrūr dan Teori Limit
Landasan teori limit Syaḥrūr adalah QS. al-Nisā‟/04: 13-14.27
Menurutnya, dalam ayat ini Allah menggunakan kata ḥudūd yaitu bentuk plural
25
Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah, “Pemikiran Teologi Hassan Hanafi”, Fikrah, vol. 3, no.
1, Juni 2015, 201-220.
26
Mu‟ammar, Studi Islam Kontemporer…, 189-191.
27
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya,
13
Nilai Penafsiran
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya
siksa yang menghinakan.
28
Siti Aisah, “Kritis Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur (Sebuah Refleksi), Mu’amalat:
Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syari’ah, 235-250.
29
Muḥammad Shaḥrūr, Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āṣirah (Damaskus: al-Ahālī, tt), 452.
30
Hendri Hermawan Adinugraha dkk., “Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia; (Analisis
Terhadap Teori Hudūd Muh. Syahrur)”, Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam, vol. 19, no.1, Maret
2016, 1-26.
14
tidak boleh terpaku pada konteks masa lalu saja. Jika tidak, maka akan
menghasilkan pembacaan yang mis-placed.
Terdapat tiga perangkat utama yang menjadi syarat mutlak tafsir modern.
Satu, menguasai ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh mufasir31. Dua,
mengolaborasikan dengan penemuan/teori ilmiah. Tiga, diinterpretasikan sesuai
dengan kebutuhan kondisi sosial masyarakat.32 Sedangkan untuk mengukur power
dan kredibilitas sebuah tafsir modern dapat dilihat dari eksistensinya seiring
dengan pergantian masa. Hal ini dilandaskan pada setiap penafsiran yang akan
terus diuji oleh penafsiran yang datang belakangan. Jika bertahan, maka
penafsiran tersebut berhasil mempresentasikan kebutuhan manusia dalam banyak
aspek.33
Problematikan Penafsiran
Sebagai sebuah pendekatan tafsir baru, tentu saja penerapan teori sosial
modern masih menjadi hal yang kontroversial di beberapa pihak. Sebagian pihak
menolak, sebagian menerima, bahkan ada pula yang menerima bahkan
mengembangkannya. Berikut akan dipaparkan pandangan masing-masing pihak
terhadap corak adabi> ijtima>’i> modern sebagai pendekatan tafsir.
31
Imam al- Suyūṭī menyebutkan lima belas keilmuan yang harus dimiliki seseorang yang hendak
menafsirkan al-Qur‟an, yaitu al-lughah, nah}wu, s}arraf, al-ishtiqa>q, al-ma’a>ni>, al-baya>n, al-badi>’,
al-qira>ah, us}u<l al-di>n, us}u>l fiqih, fiqih, asba>b al-nuzu>l, naskh dan mansu>kh, h}adi>th, dan al-
mauha>bah. Lihat, al- Suyūṭī, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Damaskus: Muassasah al-Risālah
Nāshirūn, 2008), 763-781.
32
Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an…, 26-27.
33
Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an…, 16.
15
34
Akhmad Faruki, “Respon Pemikir Muslim Konservatif Terhadap Penggunan Teori
Hermeneutika dalam Tafsir al-Qur‟an”, TESIS Dirasah islamiyah Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya, 2019, 123-126.
35
Sahiron Syamsuddin, Metode Penafsiran dengan Pendekatan Ma’na Cum-Maghza dalam
Pendekatan Ma‟na Cum-Maghza atas Al-Qur‟an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial
Keagamaan di Era Kontemporer, Asosiasi Ilmu Alqur‟an & Tafsir se-Indonesia, 2020, 1-18.
16
SIMPULAN
Metode ini dilakukan dengan cara melihat konteks yang melingkupi saat
teks diturunkan, memetakan makna historis dan pesan universal yang terkandung
di dalamnya, kemudian dikontekstualisasikan sesuai dengan kebutuhan sosial saat
ini. Studi kontekstualisasi berangkat dari pengaruh hermeneutika modern yang
dipakai untuk menginterpretasikan teks al-Qur‟an. Dari proses ini, pemikir
reformis modernis berhasil melahirkan teori pembacaan al-Qur‟an baru, seperti
double movement Fazlūr Raḥmān, konsep teologi antroposentris Ḥassan Ḥanafī,
dan yang lainnya.
Untuk melihat tafsir modern yang sesuai dengan nilai Islam dan realitas
sosial, tentu saja ada patokan yang harus dipertimbangkan. Yaitu penguasaan
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir, dikawinkan dengan penemuan/teori
ilmiah, serta diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan realitas masyarakat
modern. Dari tiga pijakan ini, maka dapat dipahami bahwa penerapan teori Barat
boleh saja dilakukan selama prinsip kemaslahatan tetap menjadi tolak ukurnya.
DAFTAR PUSTAKA