7128 19483 2 PB
7128 19483 2 PB
php/kt
Khazanah Theologia, Vol. 1 No. 1: 47-63
DOI: 10.15575/kt.v1i1.7128
M Al Qautsar Pratama
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
This study aims to reveal the role of Sultan Muhammad Salahuddin in the development of Islam in the
Bima area. The problem examined in this paper is focused on how the condition of Bima pre Sultan
Muhammad Salahuddin, How Sultan Muhammad Salahuddin's efforts in developing Islam in Bima and
How the challenges and opportunities faced by Sultan Muhammad Salahuddin in developing Islam in
Bima. The researcher uses historical methods, to reveal historical facts about the biography of Sultan
Muhammad Salahuddin and its role in the development of Islam in the Bima area. To analyze this fact,
researchers used an approach that is often used in historical research, namely political, sociological,
anthropological, religious and educational approaches. This research found that Muhammad Salahuddin
was born in a palace environment and was raised by scholars. It was from the training of these ulemas that
they formed the sultan's personality until he grew up. Muhammad Salahuddin was crowned Sultan after
the death of his brother Abdul Azis and learned from ulemas in the region and outside his region that
during his leadership, Islam in Bima underwent development, in developing Islam in the Bima area, Sultan
renewed so that during his time Islam in Bima was experiencing glory. The things that are done by the
Sultan are building educational institutions both formal and non-formal, and mosques and in supporting
the progress of the Bima Sultan to finance and provide scholarships to adolescents who study in the Middle
East and for those who have abilities in the fields religion.
Keywords: ima people, leaders, Sultan Muhammad Salahuddin
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan tentang peranan Sultan Muhammad Salahuddin dalam
perkembangan Islam di daerah Bima. Masalah yang diteliti dalam tulisan ini difokuskan pada
Bagaimana kondisi Bima pra Sultan Muhammad Salahuddin, Bagaimana Usaha-usaha Sultan
Muhammad Salahuddin dalam mengembangkan Islam di Bima dan Bagaimana tantangan dan
peluang yang dihadapi Sultan Muhammad Salahuddin dalam mengembangkan Islam di Bima.
peneliti menggunakan metode sejarah, untuk mengungkapkan fakta sejarah tentang biografi Sultan
Muhammad Salahuddin dan peranannya dalam perkembangan Islam di daerah Bima. Untuk
menganalisis fakta tersebut peneliti menggunakan pendekatan yang sering digunakan dalam
penelitian sejarah, yaitu pendekatan politik, sosiologi, antropologi, agama dan pendidikan. Penelitian
ini menemukan Muhammad Salahuddin lahir dalam lingkungan istana dan dibesarkan oleh para
ulama. Dari didikan ulama inilah sehingga membentuk kepribadian sultan sampai tumbuh dewasa.
Muhammad Salahuddin di nobatkan menjadi Sultan setelah kematian saudaranya Abdul Azis dan
mendapatkan pelajaran dari ulama di daerah dan luar daerahnya sehingga pada masa
kepemimpinanya Islam di Bima mengalami perkembangan, dalam mengembangan Islam di daerah
Bima Sultan melakukan pembaharuan sehingga pada masanya Islam di derah Bima mengalami
kejayaan. Adapun hal-hal yang dilakukan oleh Sultan adalah membagun lembaga-lembaga
pendidikan baik formal maupun non formal, dan masjid-masjid dan dalam menunjang kemajuan
daerah Bima Sultan membiayai dan memberikan beasiswa kepada remaja yang sekolah di timur
tengah dan bagi mereka yang memiliki kemampuan dalam bidang agama.
Kata Kunci: Masyarakat Bima; Pemimpin; Sultan Muhammad Salahuddin.
* Corresponding author
Received: September 01, 2019; Revised: October 19, 2019; Accepted: December 26, 2019
Khazanah Theologia, Vol. 1 No. 1: 47-63
Kehidupan Masyarakat Bima Pada Masa Kepemimpinan Sultan Muhammad Salahuddin Tahun 1915-1951
M Al Qautsar Pratama
PENDAHULUAN
Kesultanan Bima merupakan salah satu wilayah yang memiliki peranan penting dalam panggung
sejarah Islam khususnya di kawasan Nusa Tenggara. Jauh sebelum terjadinya proses pengislaman, Bima
sudah menjadi daerah dengan perkembangan perdangan yang cukup pesat. Menurut catatan Bo Sangaji
Kai (Rahman Hamid, 2014), cikal bakal daerah Bima dirintis oleh pendatang dari Jawa yang bernama Sang
Bima yang kemudian menikah dengan Putri Tasi Sari Naga. Dari pernikahan tersebut melahirkan dua
orang putra yang bernama Indra Zamrud dan Indra Komala, kedua anaknya tersebutlah yang menjadi
cikal bakal keturunan raja-raja Bima(Gani Abdullah, 2005). Dalam catatan lainya disebutkan bahwa Ncuhi
Dara dan Padolo menyampaikan keputusan pada saat Sang Bima memahat Wadu Pa’a mungkin dilakukan
oleh Sang Bima yang beragama Hindu Siwaistik atau orang-orang Hindu yang hilir mudik melewati Flores
kala itu. Kuat dugaan dia sedang memimpin ekpedisi yang singgah di Pulau Satonda kemudian tiba di teluk
Bima. Bisa dikatakan bahwa sang Bima merupakan orang yang memiliki andil penting dalam pendirian
kerajaan Bima Hindu namun raja pertama yang memimpin kerajaan Bima yakni putranya Indra Zamrud
yang diasuh oleh Ncuhi Dara.
Menurut Morris kedatangan Sang Bima ke tanah Mbojo, berhasil mengubah pola kehidupan
terutama pada bidang pertanian dan peternakan pada masyarakat Bima bahkan Sang Bima juga dilibatkan
dalam pengambilan keputusan adat. Hal tersebut merupakan pertimbangan bagi masyarakat setempat
untuk memberikan penghormatan sehingga Sang Bima diangkat sebagai pemimpin dan sebagai
penghargaan lain maka nama Sang Bima disepakati sebagai nama Bima yang sebelumnya bernama Mbojo.
Pada masa sebelum masuknya Islam Bima terbagi menjadi beberapa wilayah. Tiap wilayah dikuasai oleh
kelompok masyarakat yang dikepalai oleh seorang “Ncuhi”.
Zaman “Ncuhi” dipandang oleh orang Bima sebagai permulaan bagi rentetan kehidupan dan oleh
karena itu zaman “Ncuhi”. Disebut juga zaman “zaman ncuhi ro naka”. Masa Ncuhi Merupakan ambang
sejarah (Proto Sejarah) pada masa ini masyarakat mulai hidup berkelompok, menetap, mengenal
pertanian dan peternakan dan masyarakat hidup teratur dibawah pimpinan seorang Ncuhi Menurut
tuturan orang Bima yang dimaksud dengan “Ncuhi” adalah “edere domo dou, ina mpuu naba weki marimpa
di siri wea nggawo na, di batu wea lele na. Pengertian “Ncuhi”. Berdasarkan tuturan tersebut adalah Ncuhi
adalah orang yang menjadi sumber kelahiran bagi turunan secara terus-menerus dan merupakan
manusia pertama yang menjadi cikal bakal kelompok masyarakat yang bertanggung jawab untuk
memberi perlindungan bagi seluruh masyarakat dan dijadikan sebagai sumber hokum yang wajid ditaati
(Gani Abdullah, 2015).
Dalam naskah Bo ditemukan bahwa masyarakat pada masa itu sudah mengenal jenis tombak,
parang, bercocok tanam, di daerah pengunungan dan berternak dan mereka belum mengenal sistem
pengolahan tanah persawahan serta bajak-membajak. Kehidupan masyarakat zaman Ncuhi mengalami
perubahan setelah datangnya imigran Jawa yang tidak ditemui sumber kuat kapan orang Jawa datang ke
tanah Bima namun dalam buku Sejarah Nasional Indonesia yang diterbitkan oleh Kemendikbud orang
Jawa datang ke tanah Bima sekitar tahun 1575. Perkiraan tersebut belum bisa dijadikan sebagai acuan
dikarenakan ekspansi perluasan wilayah Majapahit ke arah Timur dilakukan antara lain menaklukan
Bima pada tahun 1357. Data itu menunjukan bahwa sebelum tahun 1357 diperkiran telah datang imigran
di Bima. Dalam naskah Bo hanya di jumpai bahwa kedatnagan Imigran jawa saat sebelum pergantian
nama “Mbojo” menjadi Bima tanpa menyebutkan angka tahunnya. Pada awal XVII Kerajaan Bima
mengalami kemelut politik yang berkepanjangan, terjadi intrik politik yakni perebutan kekukasaan
dengan serangkaian pembuhunhan dan intrik (Malingi, 2010).
Salisi yang merupakan putra raja Ma Wa’a Dampa merebut kekuasaan dengan melakukan cara licik
bahkan berafiliasi dengan Belanda untuk mencapai kekuasaan di Bima bahkan Salisi membunuh terhadap
putra mahkota kearjaan yakni Sangaji Samara yang berusia 9 tahun. Salisi menjadi raja Bima tanpa
persetujuan majelis adat. Salisi yang merupakan raja Bima yang terakhir berhasil digulingkan oleh La Ka’i
yang didukung oleh seluruh rakyat dan bala tentara bantuan dari kerajaan Gowa selama tiga kali ekspedisi.
Perjuagan La Ka’i adalah perjuangan panjang dan berdarah (Ismail, 2014).
Hubungan Bima dengan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan dalam periode kebebasan zaman bahari
orang Makassar sekitar tahun 1567-1575 adalah salah satu tali penyambung yang memuluskan jalannya
proses ismalmisasi di Bima. Hubungan Bima dengan kerajaan-kerajaan di Makassar dan Bugis dalam
periode itu memberi kemungkinan terjalinnya hubungan dengan Bima jauh sebelum pertengahan abad
ke XVI itu. Akan tetapi pengaruh yang dominan terhadap tahap-tahap pengIslaman Bima adalah hubungan
maritime yang terjadi sejak abad ke-XVI hingga permulaan abad ke-XVII (Gani Abdullah, 2015).
Menurut Sejarawan Bima M. Hilir Ismail, tahun 1540 M merupakan tonggak awal kedatangan Islam
di tanah Bima, proses Islamisasi itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu periode kedatangan Islam tahun
1540-1621, periode pertumbuhan Islam tahun 1621-1640 M, dan periode kerajayaan Islam 1640-1950
M. Pada awal sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam sudah masuk dan menyebar ke
wilayah-wilayah pesisir pantai Bima. Proses pengIslaman di tanah Bima diklasifikasikan oleh Muhammad
dapat terbagi dalam empat fase. Pertama, pada abad XIV masyarakat Bima telah mengetahui tentang
adanya agama Islam yang dianut oleh masyarakat pulau Jawa. Kedua, pada abad itu juga, datangnya para
utusan/mubalig melalui pintu perdagangan dari Jawa, khususnya dari kesultanan Demak dan Gresik,
untuk menyebarkan Islam di Bima. Ketiga, adanya beberapa orang masyarakat Bima yang memeluk
agama Islam. Keempat, masuknya masyarakat Bima ke dalam Islam secara massal.
Pada tanggal 5 Juli 1640 M menjadi tonggak berdirinya kesultanan Bima dengan Sultan pertama
Abdul Khair (La Ka’i) dan perdana menteri La Mbila memeluk Islam dan berganti nama menjadi Jalaludin.
Bima memasuki era kesultanan yang berlandaskan Islam dalam menjalankan pemerintahannya.
Sebenarnya, masyarakat Bima sudah mengenal Islam melalui penyebar agama Islam dari tanah Jawa,
Melayu bahkan Gujarat dan Arab pada tahun 1609 M, yang mengenal lebih dulu adalah masyarakat pesisir.
Masa kesultanan merupakan masa kejayaan Bima. Bima secara politik dan ekonomi berubah menjadi
salah satu daerah perdangangan paling berpengaruh di wilayah Nusa Tenggara pada awal abad ke-16.
Islam dimasa kesultanan bersinar cemerlang dan mencapai puncak kejayaan. Selama menjadi Kesultanan
(Nasiwan, 2012).
Bima di pimpin oleh 15 Sultan dalam kurun waktu 322 tahun mulai tahun 1640 M sampai tahun
1951 pasca wafatnya Sultan Muhammad Salahuddin. Menurut Morris (1890), selama berlangsungnya
Kesultanan Bima, ada 49 raja dan rultan yang pernah memimpin di Bima. Maharaja Sang Bima diposisikan
pada urutan ke-11, sedangkan dalam catatan Rouffaer yang kemudian diterbitkan oleh Noorduyn (1987),
ada 26 raja atau sultan, mulai dari Maharaja Sang Bima sampai dengan Sultan Ibrahim. Sesungguhnya
sejak muncul sebagai pusat kekuasaan Islam hingga tahun 1950, Kesultanan Bima diperintah oleh empat
belas sultan, mulai dari Sultan Abdul Kahir (1620-1640) sampai Sultan Muhammad Salahuddin (1915-
1951) sebagai Sultan Bima yang terakhir. Dalam proses estafet kepemimpinan di Kesultanan Bima, tiap
sultan memiliki strategi tersendiri dalam menjalankan roda pemerintahanya. Sultan disamping memiliki
kedudukan yakni sebagai kekuasaan tertinggi dalam Kerajaan Bima, ia juga berkedudukan sebagai
pemimpin tertinggi majelis Suba dalam Kesultanan Bima.
Era kesultanan bertepatan dengan masa penjajahan di Nusantara. Hinga tidak heran berbagai
kepetingan penjajah terutama bangsa Belanda juga merambah di Bima (Haris, 2004). Sultan-sultan yang
memimpin sebelum sultan Muhammad Salahuddin lebih menfokuskan pada pada persoalan masyarakat
seperti memperbaiki kehidupan rakyat dalam bidang pertanian akibat kemarau, serangan bajak laut,
kemiskinan, kelaparan dan juga tidak terlepas dari perang melawan kolonial Belanda. Sedangkan di era
sultan Salahuddin Bima lebih diperhatikan dalam berbagai aspek kehidupan yang sangat terlihat adalah
aspek agama dan pendidikan1.
Sultan Muhammad Salahuddin sebagai sultan terakhir Kesultanan Bima memiliki peranan yang
sangat penting dalam proses kemajuan Islam di tanah Bima. Sultan Salahuddin merupakan salah satu
pemimpin yang memiliki integritas tinggi dalam menjalankan roda pemerintahan Kesultanan Bima. Ia
lahir di Bima pada tanggal 15 Zulhijah 1306 Hijriah atau 14 Juli 1889 dan meninggal dunia pada tanggal
11 Juli 1951 merupakan putra mahkota dari Sultan Ibrahim (Ismail, 2014). Sejak usia muda ia sudah
tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu keagamaan, pendidikan, dan politik. Sultan
Muhammad Salahuddin banyak belajar tentang ilmu pemerintahan dan agama dari ulama dan pejabat
istana pada saat itu. Ia juga menekuni ilmu tauhid, serta siasat politik, ia selalu membaca buku-buku, dan
rajin mempelajari ilmu Qur’an dan Hadist. Selian mendapat bimbingan dari pala ulama setempat beliau
juga berguru pada ulama yang didatangkan dari Batavia yaitu H. Hasan dan Syeh Abdul Wahab dari
Mekakah.
Berdasarkan faktor-faktor diatas pada tanggal 2 November 1899 beliau resmi diangkat sebagai
“Jena Teke” oleh majelis Hadat. Kemudian untuk mendapatkan pengalaman lebih jauh dalam menjalankan
roda pemerintahan, maka pada tanggal 23 Maret 1908 diangkat menjadi Jeneli Donggo atau setingkat
camat dalam hirarki kepemimpinan Kesultanan Bima. Setelah sang ayah Sultan Ibrahim mangkat pada
tahun 1915, Muhammad Salahuddin mengambil alih kekuasaan pemerintahan kemudian tahun 1917
resmi dilantik menjadi sultan Bima ke-XVI yang memerintah dari tahun 1915-1951 M. Disamping menjadi
sultan, pada tahun 1949 diangkat menjadi Dewan Raja-raja se-Pulau Sumbawa atas persetujuan Sultan
Dompu dan Sultan Sumbawa. Sultan Salahuddin sangat fokus pada pembangunan dalam bidang sosial
keagamaan dan pendidikan Islam. Pada proses menjalankan tampuk kekuasaan Sultan Muhammad
Salahuddin banyak mendapatkan rintangan dan tantangan.
Pada masa kekuasaanya Bima sedang mengalami krisis politik dan ekonomi yang cukup
memprihantinkan akibat ulah dari penjajah. Namun tantangan tersebut dilalui dengan jiwa besar dan
keyakinan yang teguh. Beliau melalui tantangan tersebut melalui proses yang panjang. Penulis tertarik
meneliti tentang Sultan Salahuddin dikarenakan selain sosok yang sangat dihormati dan dicintai oleh
masyarakat Bima. beliau juga merupakan satu-satunya sultan yang memiliki ketertarikan yang tinggi
terhadap paham keagamaan, pendidikan, ekonomi dan politik bahkan Sultan Salahuddin dijuluki sebagai
“Ma ka kidi Agama” atau tokoh yang mendirikan, memajukan dan menjalankan ajaran agama Islam
ditanah Bima. Sultan Salahuddin merupakan tokoh utama yang berperan penting dalam perkembangan
sejarah Bima pada awal abad ke 20.
Perjuangan beliau dalam menghadapi tantangan dari internal dan ekternal kerajaan patut
diabadikan sehingga bisa menginspirasi masyarakat Bima sekarang dan yang akan datang bagi generasi-
generasi penerus terutama para remaja dan pelajar. Dari sekian banyak sultan yang memimpin di
Kesultanan Bima, Muhammad Salahuddin merupakan sultan yang diabadikan sebagai nama Bandar
Udara di Kabupaten Bima yang bernama Bandar Udara ‘Sultan Muhammad Salahuddin Bima”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menngunakan pendekatan kualitatif (Sugiyono, 2013) yang dibantu dengan metode
sejarah (Sjamsuddin, 2007) serta data yang di ambil menngunakan studi kepustakaan (Rahardjo, 2010).
Metode penelitian sangat berhubungan dengan desain dari penelitian.Metode penelitian adalah suatu
prosedur kerja yang sistematis, teratur dan tertib yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk
memecahkan suatu masalah (penelitian) guna mendapatkan kebenaran yang objektif (Prastowo, 2011) .
Ekonomi
Kegiatan perekonimian orang Bima pada masa kesultanan Muhammad Salahuddin berlangsung
didominasi oleh kegiatan agraria. Hal ini didukung oleh kondisi geografis Bima yang merupakan salah satu
wilayah yang cukup subur dengan curah hujan yang cukup di daerah pulau Sumbawa. Hasil bumi yang
biasanya dihasilkan oleh masyarakat Bima berupa Padi, Jagung, Kedelai, dan Bawang Merah. Hasil bumi
ini tidak hanya diperdagngakan hanya di dalam dearah kesultanan saja namun juga di kirim ke luar
daerah. pertanian menurut orang Bima adalah hak untuk memperoleh sawah atau atau areal pertanian
baru, dan hak untuk memperoleh hasil-hasil pertanian.
Mengenai hak pembagian hak katas hasil-hasil pertanian seperti yang diajarkan hukumnya dalam
lembaga pengajian itu perlu kirannya dipersoalkan disini karena erat kaitannya dengan hokum pertanian
dan hokum Islam. Bahwa hak atas hasil pertanian menurut orang Bima adalah hak untuk memperoleh
sawah atau areal pertanian baru, dan hak untuk memperoleh hasil-hasil pertanian. Mengenai hak yang
pertama, tradisi Orang Bima khususnya yang tinggal di desa-desa, harus membuka hutan untuk pertanian
dan mendapatkan daerah persawahan. Apabila persawahan baru telah diperolehnya, maka pada tahap
pertama, petani yang bersangkutan harus menyerahkan sebagian tanah tersebut kepada Sultan. Tanah
atau sawah-sawah yang diserahkan kepada Sultan itu bukanlah menjadi hak Sultan, akan tetapi
dipergunakan untuk “danamolu kai”.
Pada tahap kedua, para petani menyerahkan lagi 2.5% dari tiap hasil panen sawahnya kepada
sultan melalui Lebe na’e atau Cepelebe yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyerahan 2.5%
tersebut mencakup kewajiban zakat untuk tahun yang berjalan dan penyerahan hak Sultan. Menurut
orang Bima, penyerahan sebagian hasil garapannya dalam membuka sawah baru itu dilakukan oleh
karena dalam tindakan itu ada dua keinginan yakni untuk menunjukkan ketaatan kepada pemerintah
Sultan dan bahwa tindakan itu berkaitan dengan ibadah dalam perayaan hari kelahiran nabi Muhammad.
Perbuatan dan sikap yang demikian itu tidak ada sentuhan apapun dengan perbuatan hukum atas tanah
dan hutang-piutang.
“Dana molu kai” adalah lembaga keuangan istana yang memangku tugas menyediakan sumber
biaya bagi kegiatan hari-hari besar dalam lingkungan istana yang sering disebut dengan “rawi ma tolu kali
sa mba’a” (peristiwa besar yang dirayakan tiga kali dalam satu tahun). Ketiga peristiwa yang diadakan
secara besar-besaran dalam upacara resmi istana ialah (1) perayaan Siri Puan, (2) hari raya Idul Fitri dan
(3) hari raya Idul Adha( hari raya Qurban). Pada upacara ketiga peristiwa besar itu dihadiri oleh seluruh
pembesar istana, pembesar daerah kerajaan dan rakyat dari seluruh pelosok daerah Bima. Walaupun
“dana molu kai” itu mengemban tugas membiayai ketiga peristiwa besar tersebut, namun “dana molu kai”
masih menyediakan kemungkinan untuk digunakan sebagai biaya dan pengganti gaji para pemangku
jabatan di istana.
Seluruh hasil panen, dipandang orang Bima atau petani desa sebagai bukan milik secara individual,
akan tetapi pada hasil pertanian itu melekat hak-hak pihak lain, seperti yang tecermin dalam ungkapan
orang Bima “ese na mangemo, woha na lampa, awa na ma rama, na siri mena ku ndi ntandi ra ntendi ede”.
Ungkapan itu bermakna bahwa segala binatang yang terbang, siapa dan apa pun yang berjalan, dan segala
binatang yang meraya atau melata, masing-masing mempunyai hak atas segala macam produksi
pertanian.
Atas dasar itulah maka persembahan hasil pertanian kepada sultan melalui lembaga “nge’e ada”
adalah kesadaran atas kewajiban mereka untuk memberikan hak orang lain yang melekat pada hak
individualnya. Di pihak istana, penyerahan semacam itu bukanlah tindakan seperti yang dimaksud oleh
prinsip dari ungkapan tersebut di atas, akan tetapi di pandang sebagai pembayaran salah satu jenis pajak
rakyat. Karena itu dapat dikatakan bahwa lembaga “ngge’e ada” (tinggal Budak) menurut pihak istana
adalah penyerahan hasil pertanian yang dikerjakan oleh budak-budak atas tanah milik kerajaan.
Dalam pada itu prinsip menurut istana itu tidak dapat dijadikan pegangan, karena ada
kecenderungan masyarakat Bima menganut prinsip bahwa tanah atau hutan beserta isinya diseluruh
daerah kerajaan Bima adalah tanah milik kerajaan, dan rakyat kerajaan diperkenankan untuk
membuka/mengolahnya untuk keperluan hidup mereka. Demikian pula tidak di anut system tanah
“mardika” atau “tanah tidak dikenal” seperti yang dimaksud oleh lembaga Negara Hindia Belanda Nomor:
207 tahun 1913 yang menyatakan bahwa tanah rakyat dapat dirampas untuk tanah negara kemudian
dikembalikan kepada rakyat untuk di olah dengan kewajiban membayar atau bagi hasil kepada
pemerintah. Sistem hak atas tanah tersebut di atas mengalami perubahan akibat pergeseran sistem
pemerintahan kesultanan ke sistem pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan
Daerah No. 1 tahun 1957. Walaupun demikian komponen agama dalam sistim hukum tanah yang
dilaksanakan pada masa pemerintahan kesultanan masih akrab dengan kehidupan bercocok tanam orang
Bima.
Berdasarkan sumber yang didapat adapun hasil bumi yang ada di keultanan Bima pada
pemerintahan Sultan Muhammad Salahaddin cukup beragam, bahkan pemerintah kesultanan
mengeluarkan peraturan yang cukup ketat dalam berlangsungnya keteresedian pangan di wilayah Bima.
Hal ini sesuai dengan laporan hasil pertanian yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kesultanan Bima
dibawah kepemimpinan Sultan Salahuddin adapun mengelurakan hasil laporan berapa jumlah hasil-hasil
dari berbagai wilayah di Kesultanan Bima. Produk-produk pertanian unggulan masyarakat Bima pada
saat itu diantaranya:
a) Padi dengan luas lahan sekitar 22765,7 ha dengan jumlah tanah tegal atau sawah 12743,77 dan
ladang kurang lebih 8000 ha hasil Padi di kerajaan secara keseluruhan 55.000 ton sampai 60.000
ton padi kering pertahun dan 27.500 ton sampai 30.000 ton beras setahun yaitu hasil sawah dan
ladang. Wilayah yang banyak mengasilkan padi yaitu Bolo, Belo, Sape, Woha, Wawo, Rasanae, Monta
dan Wera.
b) Jagung dengan luas tanah yang digunakan di perswahan ± 4000 km dan di tengah ladang ±1000 ha
wilayah yang banyak menghasilkan jagung yaitu kejenelian Rasana’e, Belo, Bolo, Monta, dan Woha.
Hasil dari kerajaan secara kesuluruhan ±10.000 ton sampai 12.000 jagung biji setahun.
c) Tembakau berbeda dengan Jagung dan Padi keberadaan lahan tembakau di wilayah Bim pada masa
kesultanan kurang diminati oleh masyarakat. Di kerajaan Bima hanya sedikit saja terdapat tanaman
tembaku dan tanaman pun kecil-kecil dan dipinggir-pinggir sungai pada tanah tegalan atau tanah
sawah dan kebanyakan ditanah tegalan yang rata atau tanah yang miring sedikit umumnya dipilih
tanah yang berpasir atau tanah gambur. Supaya gampang disiramnya dan tanahnya berpasir dan
sering kebanjiran oleh karena itu ada agak gemuk. luas tanah sawah ±10 ha dan luas ditegalan pinggir
kali ±70-90 ha.
d) Kopi, penduduk di kerajaan Bima tidak menanam kopi. Dalam Kerajaan Bima terdapat kebun kopi
hanya di Tambora satu onderneming dahulu kepunyaan orang Swedia yang bernama Tambora
Estate. Luasnya ± 400 ha yng ditanam dengan kopi Robusta.
e) Kelapa, kebun-kebun kelapa di kerajaan Bima hanya sedikit saja didapatnya pada kebun dekat laut,
seabagian di Sape, Kempo, Labuan Bajo, Kenanga, Hu’u dan Karumbu, di bagian tengah dan di
perkampungan jarang kedapatan kebun kelapa. Hasil kelapa tersebut untuk keperluan sehari-hari
buat penduduk dalam kerajaan belum mencukupi oleh sebab itu tiap-tiap tahunnya banyak buah
kelapa didatangkan dari pulau-pulau lain.
f) Bawang, luas perusahaan sawah dalam tiap tahun rata-rata ± 300-900 ha. Bawang banyak
diproduksi dibagian Kejenelian Monta, Belo, Bolo, Woha, Dompu dan Sape sesudahnya Padi, ada pula
sebagian kecil dari sawah di Kejenelian Sape dan Monta yang semata-mata dipergunakan untuk
pertanian Bawang pada sawah tersebut bawang ditanam 2 kali setahun yaitu sesudah musim barat
atau pada musim timur. Hasil rata-rata dalam setahun ± 900 Ton sampai 10000 Ton Bawang.
g) Kacang Hijau, luas perusahaan di sawah ± 8000 ha. Ditegalan/Ladang ± 70000 ha. Jumlah 15000
yang terbanyak yang diusahakan yaitu dibagian Kejenelian Bolo, Dompu, Belo, Rasanae, Sape, Woha
, Wera dan Monta.
Peraturan tentang pemeliharaan kerbau yang terdiri dari 14 pasal yang kebanyakan berisikan
tentang kerbau-kerbau di wilayah Bima harus diberi cap “S” pada leher sebelah kiri agar memudahkan
dalam mengenali siapa pemilik kerbau tersebut. Selain itu pada pasal 8 diterapkan sistem pajak diamana
kerbau-kerbau yang telah didaftarkan dikenakan pajak sebanyak/sejumlah/0.30 (tiga puluh sen) seekor
untuk satu tahun Apabila kerbau ini disembelih dan seekor kerbau harus membayar pajak sejumlah
Satu Rupiah jika kerbau ditangkap hidup sebesar Tiga Rupiah jika kerbau ditangkap mati.
Pada pasal 12 berbunyi Pasal 12: Pada waktu melepas kerbau-kerbau ditempat gembala harus ada
yang Menjagnya agar tidak menganggu kegiatan pertanian. Dan pada pasal 13 ditegaskan lagi bahwa
barang siapa yang melanggar aturan tersebut diatas ini maka kerbau akan dibeslag (rampas).
Stuktur Masyarakat
Struktur masyarakat yang hendak diangkat dalam tulisan ini dititik beratkan pada pembagian
masyarakat Bima yang menggambarkan adanya tingkat sosial beserta lambang-lambang statusnya.
Sumber-sumber tertulis yang dapat memberikan keterangan lebih banyak mengenai masyarakat Bima
sedikit sekali. Golongan Masyarakat. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin,
penggolongan masyarakat Bima masih dalam keadaan seperti dalam masa sebelumnya. Menurut sumber
yang ditulis Ahmad Amin, masyarakat Bima diformasikan bdengan tegas pada Pemerintahan Sultan Abdul
Hamid (1792-1819) dan bahkan diekspresikan dengan lambang-lambang pemerintahan pada tanggal 14
Agustus 1788. Dalam lambang itu diungkap mengenai adanya empat bangsawan, masyarakat Bima yaitu
(1) golongan raja-raja, (2) golongan bangsawan, (3) golongan “dari” dan pegawai istana dan (4) golongan
rakyat biasa.
Pihak pemerintah kesultanan tampaknya mengakui hanya empat masyarakat Bima. Penggolongan
itu tidak memberi keasan bahwa masyarakat Bima dibagi dalam suku bangsa akibat pertalian wilayah.
Demikian pula istana tidak mengakui adanya golongan budak walaupun golongan itu hidup
berdampingan dengan raja-raja dan bangsawan. Penggolongan masyarakat Bima diekspresikan melalui
lambing pemerintahan, yang bermakna, (1) terjemahan dari suatu tuntutan bahwa dalam fungsi
pemerintahan hanya dipegang oleh golongan raja, bangsawan dan tukang atau karyawan istana, (2)
merupakan suatu pengawan yang ketat terhadap distibusi tugas dan fungsi dalam pemerintahan
kesultanan, dan (3) upaya untuk menutup kemungkinan bagi golongan rakyat biasa memperoleh tugas
dan fungsi dalam pemerintahan.
Penggolongan masyarakat Bima itu pula mempunyai kaitan dengan pelayanan yang diinginkan
oleh keluargan raja.
a) Golongan raja-raja adalah golongan yang menduduki tingkat teratas dalam masyarakat Bima.
Golongan ini menuntut secara turun-temurun sebagai golongan yang menjadi “Londo Sang Bima”
(mempunyai garis keturunan sang Bima) Raja atau calon pengganti raja selalu dipilih dari garis
keturunan Laki-laki saja, karena keturunan pihak perempuan tidak mempunyai hak untuk menjadi
raja.
b) Anggota atau orang yang termasuk dalam golongan raja-raja ialah raja yang sedang atau orang lain
yang telah pernah menjadi raja, istri atau permaisuri dan anak-anak raja, keluarga ke atas dan ke
samping. Mereka itulah yang dinamakan orang Bima “Londo Sangaji” (keturunan raja). Seorang raja
atau anak raja tidak menutup kemungkinan untuk menikah seorang wanita dari golongan rakyat
biasa. Apabila terjadi demikian, golongan atau tingkat sosial istri menjadi berubah dan masuk dalam
golongan raja-raja.
c) Golongan raja-raja bertempat tinggal dalam lingkungan kesultanan. Dengan kata lain, raja bererta
istrinya dan anak harus tinggal di dalam istana, sedangkan keluarga raja atau keluarga anggota raja
yang lainnya tinggal di luar istana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin (1919-
1951) raja menempati dan melaksanakan tugasnya sebagai raja di dalam “asi na’e” (istana besar).
Sedangkan keluarga raja yang lainnya tinggal di dalam “asi mpasa” (bekas istana), atau “asi mantoi”
(istana yang lama).
d) Golongan bangsawan, golongan masyarakat Bima ada di bawah tingkat raja-raja ialah bangsawan.
Keturunan bangsawan memangku jabatan tertentu dalam pemerintahan secara turun temurun
sehingga keturunan selanjutnya dimungkinkan untuk mempunyai anggapan bahwa memangku
jabatan itu adalan pengakuan hukum bagi kelanjutan kebangsawannya.
e) Di kalangan masyarakat Bima sebenarnya belum terdapat kejelasan mengenai siapa yang
mempunyai hak untuk dikatakan sebagai keturunan bangsawan atau termasuk “Londo ruma” atau
“Londo sangaji” (keturunan raja-raja) Dilihat dari fungsinya dalam pemerintahan, sebagaian besar
masyarakat Bima berpendapat bahwa orang yang termasuk golongan bangsawan itu ialah mereka
yang menduduki Jabatan Tureli, Jeneli, dan Bumi dalam lingkungan Bumi na’e. Akan tetapi sebagian
yang lain berpendapat bahwa golongan bangsawan adalah pemangku jabatan rendahan atau bekerja
di dalam lingkungan Istana. Keadaan itu bagaimanapun menunjukkan tidak adanya batasan-batasan
tertentu untuk mengidentifikasi secara terperinci orang-orang yang termasuk dalam golongan
bangsawan.
f) Golongan bangsawan pada mulanya bermukim di lingkungan Istana. Sebagian besar golongan ini
tinggal di daerah tertentu yang disebut “kampo na’e” (kampung besar), suatu lokasi pemukiman
khusus bagi pembesar atau pejabat pemerintahan seperti para Tureli, Jeneli, dan Bumi-Bumi.
Sebagaimana golongan raja-raja, golongan bangsawan juga menuntut bahwa hanya mereka secara
turun-temurun yang dapat memangku jabatan-jabatan Tureli, Jeneli, dan para Bumi. Keadaan itu
masih dijumpai takkalah masih terjadi pergeseran system pemerintahan berdasarkan sistem
Undang-Undang No. 1 tahun 1957 itu membuka kesempatan terjadinya persaingan antara golongan
bangsawan dan golongan rakyat biasa untuk merebut jabatan dalam pemerintahan. Gejala itu makin
tampak apabila kalangan rakyat biasa berhasil meraih jabatan tersebut.
g) Golongan “dari” dan pegawai Istana. Golongan “dari” pada mulanya adalah kelompok masyarakat
dari golongan rakyat biasa yang diangkat untuk bekerja sesuai dengan perintah istana dalam kadar
keahliannya didalam lingkungan istana. Mereka dianggap sebagai kelompok masyarakat tersendiri
karena golongan ini terdiri dari pegawai rendahan, pesuru, atau tukang untuk melaksana pekerjaan
tertentu diluar atau didalam lingkungan istana.
h) Menurut Wahab, golongan ini berdasarkan daerah asalnya dibagi dalam sebelas “dari“, dan ia juga
membagi “dari“ Suba, yakni kelompok masyarakat tertentu dan pada umumnya akan menjadi
anggota angkatan bersenjata, dan (2) “dari” Ngaji yakni kelompok masyarakat tertentu, dan pada
umumnya yang akan memangkut jabatan dalam urusan agama Islam.
i) Catatan Wahab tersebut berbeda dengan tulisan Ahmad Amin yang menggambarkan pembagian
“dari“ menurut tugas, fugnsi dan tanggung jawabnya dalam Istana. Karena itu cenderung diakui
bahwa seluruh pegawai istana dibawah koordinasi Bumi Parenta dan Bumi Renda termasuk
golongan tersebut. Tugas dan tanggung jawab mereka dalam koordinasi Bumi Parenta meliputi
pengawasan di dalam dan di luar istana, Pekerjaan sebagai pesuruh, urusan kesenian istana dan
perlengkapannya, urusan produksi perlengkapan istana.
j) Golongan rakyat biasa adalah masyarakat yang tidak termasuk didalam salah satu dari golongan raja-
raja bangsawan; atau golongan “dari”/pegawai istana. Penggolongan masyarakat Bima yang
demikian cenderung menempatkan rakyat biasa sebagai golongan terendah. Golongan rakyat biasa
pada umumnya melakukan kegiatan sehari-hari sebagai petani, pedagang bahkan sebagai pesuruh
kaum raja atau bangsawan, sebagai nelayan dan berburu. Dalam kegiatan sehari-hari rakyat biasa
juga menduduki fungsi-fungsi keagamaan sebagai guru ngaji, atau murid.
Fungsi-fungsi keagamaan itu melahirkan juga tingkat sosial dibandingkan dengan fungsi-fungsi
keagamaan tadi. Dalam kesempatan kenduri atau bersholat Jum’at atau sholat lima waktu dalam langgar
dan mushollah, guru ngaji atau guru haji selalu ditempatkan oleh anggota masyarakat lainnya pada posisi
terdepan atau pada shaf (deretan) pertama.
Pantangan -pantangan hidup bagi golongan rakyat biasa juga erat sekali kaitannya dengan tradisi
istana dan dekat dengan ajaran agamnya, terutama dalam hal permulaan tanam, pada masa dan sesudah
panen; tidak ada pantangan bagi rakyat biasa untuk pada suatu ketika akan menikah dengan golongan
raja atau bangsawan bahkan akan tampak adanya saling ketergantungan antara kalangan istana dengan
rakyat biasa seperti dicerminkan oleh “dana molukai“ dan “ngge’e adat“ kedua tradisi itu merupakan
jembatan yang menghubungkan kalangan istana dengan rakyat biasa.
Lambang Status
Pembagian masyarakat Bima seperti yang disebutkan diatas merembek pula pada hak pemakaian
gelar yang melambangkan status golongan masyarakat. Sejak akhir tahun 1967, gelar tidak lagi
melambangkan perbedaan status sosial akan tetapi telah berubah sehingga menjadi penyandangan yang
tidak mempunyai pengaruh apapun. Sumber-sumber atau keterangan tertulis mengenai lambang status
dalam masyarakat Bima hamper tidak ada, dan hamper tidak pernah diadakan penelitian secara khusus
mengenai status sosial dalam masyarakat Bima.
Kelangsungan dalam memegang suatu jabatan dalam lingkungan pemerintahan kesultanan adalah
persoalan yang selalu melekat bpada bgolongan Raja, Bangsawan dan bahkan pada golongan “dari”. Oleh
karena itu, gelar-gelar seperti yang diuraikan dalam bagian yang sebelumnya turut mengungkap hal-hal
yang melekat dengan persoalan di atas. Penyandang gelar “ruma” mempunyai peluang yang terbuka
untuk dipilih menjadi Raja. Golongan raja-raja sebagai “Londo sangaji” atau “londo Ruma“ adalah
pemegang hak untuk jabatan atau Raja atau Sultan.
Gelar “Rato” adalah satu-satunya gelar menjadi peluang dan cukup Dominan bagi golongan
bangsawan untuk menduduki jabatan dalam jajaran Bumi Na’e hingga Tureli Nggampo. Gelar “Teta”,
“Muma”, dan “Uba” dapat membatasi penyandang gelar itu untuk memangku jabatan lebih tinggi yang
biasanya diperoleh golongan bangsawan. Karena itu, golongan “dari” dan para pegawai istana lebih
condong mempertahankan posisi mereka menjadi pegawai, tukang dan pesuruh dalam istana dari pada
menuntut status yang lebih tinggi atau keluar dari golongan.
berita atau keterangan mengenai kemungkinan adanya ilmu baru atau kitab-kitab yang dibawa para Haji
dari mekkah.
Variasi warna Jubah.
Bagi golongan rakyat biasa, jubah bukan merupakan suatu hal yang erat kaitannya dengan gelar.
Jubah itu secara popular dipakai oleh yang sudah melaksanakan ibadah Haji. Akan tetapi dikalangan
masyarakat terbatas seperti di Desa Ngali masih hidup gejala pemakaian jubbah yang berwarnah merah
tua, Hijau dan Putih dengan maksud tertentu. Menurut keterangan yang di peroleh dari masyarakat
setempat, jubah merah tua melambangkan pemakainya sudah berada pada tingkatan tuan guru haji, yang
biasanya diukur dengan pengalaman mengajar serta keahliannya dalam membaca kitab-kitab figh,
menguasai agama dan hukum Islam, serta mengajar di kalangan rakyat.
Di desa Ngali jubah merah itu dipakai oleh Tuan Guru Haji Abbas, Tuan Guru Haji Muhammad, Tuan
Guru Haji Idris, Tuan Guru Haji Muhammad said, Tuan Guru Haji Yasin. Jubah hijau biasanya dipakai oleh
para haji yang berada di bawah tingkat jubbah merah tua. Mereka ini pada umumnya akan menggantikan
pemakai jubbah merah dalam berbagai peranannya. Jubah putih biasa dipakai oleh yang baru kembali
menunaikan ibadah haji atau haji yang akan menggantikan peranan jubah hijau. Penggantian peranan
jubbah merah tua, walau jubbah putih memiliki pengetahuan agama dan hukum Islam yang tidak
ditempat melalui pendidikan khusus.
Pada sekitar tahun 1929 pemerintah Kesultanan Bima mengeluarkan peraturan tentang
bagaimana orang-orang Bima keluar dari Bima ke Mekkah. Peraturan ini berisi tentang ketentuan-
ketentuan yang diwajibkan ketika orang ingi melaksanakan ibadah haji, beberapa poin peraturannya
adalah:
a. Orang-orang yang akan ke Mekkah ditentukan meyediakan uang perbekalan sekurang-kurangnya
250 Ringgit (enam ratus duapuluh lima rupiah).
b. Pada uang ini sudah terhitung pembayaran tiket kapal pulang pergi, yang akan dibayarkan kepada
kantior KPM.
c. Khusus untuk anak-anak hanya membayar setengah harga dan pembayaran tiketpun hanya
dikenakan biaya setengah saja
d. Uang perbekalan orang yang ingin berangkat haji diwajibkan untuk melapor ke hadapan Jeneli
untuk disaksiakan, kemudian tugas Jeneli yakni mencatat tahun terima dan lain sebagainya.
e. Zelfbestuur menerima satu opgave dari tiap-tiap Jeneli, dimana diterangkan banyak dan halnya
masing-masing yang akan ke Mekkah, kemudian dibuatkan keterangan yang akan diberikan
kepada seorang pengurus yang telah dipilih oleh Zelfbestuur. .
f. Pengurus inilah yang akan mengambilkan tas dan tiket bagi calon Jemaah haji,
Ketentuan-ketentuan ini berlaku bagi orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah haji, ketentuan
tersebut harus dipenuhi seutuhnya. Jika tidak maka orang-orang ttersebut dilarang untuk pergi Haji
karena belum memenuhi persyaratan sesuai peraturan yang ditetapkan oleh Sultan.
Pendidikan
Kehidupan orang Bima dan kelembagaan pendidikannya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
pengislaman. Sejak tahap-tahap permulaaan pengIslaman Bima hingga keabad ke-19. Pendidikan non-
formal adalah satu-satunya bentuk kelembagaan pendidikan orang Bima. Pengajaran agama dilakukan
dilingkungan rumah tangga, masjid, langgar surau atau mushollah. Penanggungjawab lembaga
pendidikan itu dan pengajarannya adalah para muballik atau penyebar Islam. Bentuk-bentuk kelembagan
itu dilanjutkan oleh para penyebar Islam berikutnya seperti Datuk Raja Lelo (cucu Datuk Ri Bandang)
bersama ayahnya Datuk Sri Nara Biraja, Datuk Iskandar, Datuk Selangan Koto, Datuk Panjang. Kemudian
dilanjutkan lagi oleh Syekh Umar Al Bantan, seorang keturunan Arab dari Banten serta H.M Sidiq, H. Abdul
Rasyid, H. Abdullah, H. Abdul Gani, H. Idris, H. Hasan Betawi dan Syekh Abdul Wahab As-Syafi’i dari
Masjidil Haram.
Pendidikan dan perjuangan pengajaran yang diberikan dalam masjid atau Langgar, di istana pada
tiap malam Jum’at khusus bagi keluarga istana, dakwah di desa-desa, telah memberikan bentuk-bentuk
dasar bagi lahirnya sistem pendidikan formal di Bima. Sebelum masa kemerdekaan, lembaga pendidikan
formal diselenggarakan oleh pemerintan penjajahan dan lembaga keagamaan Islam. Pada tahun 1918
didirikan Vervolg School oleh pemerintah kolonial Belanda yang selanjutnya di tingkatkan menjadi
Normal Cursus yang pada akhirnya di ubah menjadi Cursus Volks Onderwijzer (CVO) pada tahun 1937.
CVO itu diubah pula sehinnga menjadi Ovleiding Volks Onderwijzer (OVO) ada tahun 1948. Sebagai lanjutan
dari OVO didirikan Hollandas Inlandsche School (HIS).
Pada tahun 1949 Lembaga pendidikan tersebut hanya menampung murid-murid dalam jumlah
terbatas dan hanya dapat disentuh orang Bima dari kalangan tertentu. Sistem pendidikan tradisional yang
berpusat di masjid dan langgar yang berazaskan Islam tetap dipertahankan, tetapi sistem pendidikan
modern melalui lembaga pendidikan (sekolah) harus segera dilaksanakan dengan tetap menjaga
kelestarian system budaya (adat istiada) yang Islami, sebagai jati diri masyarakat Bima yang dikagumi
oleh semua pihak sepanjang sejarah.
Pada tahun 1921, Sultan Muhammad Salahuddin mulai mencanangkan sistem pendidikan modern
dengan mendirikan HIS di kota Raba. Pada tahun 1922, mendirikan “Sekolah Kejuruan Wanita”
(Kopschool) di Raba. Untuk memimpin sekolah itu, Sultan Salahuddin mendatangkan seorang guru
keturunan Indonesia yang berjiwa nasionalis Sulawesi Selatan bernama SBS Yulianche. Guna pemeratan
pendidikan, pada tahun 1922 Sultan Muhammad Salahuddin mendirikan sekolah agama dan umum di
seluruh kejenelian (Kecamatan). Mulai saat itu di desa-desa tertentu didirikan sekolah agama setingkat
Ibtidaiyah yang bernama “Sekolah Kita” (Sekolah Kitab) dan sekolah umum yang bernama “Sekolah Desa”
yang kemudian berkembang menjadi “Sekolah Rakyat“ yang setingkat dengan Sekolah dasar (SD) pada
masa sekarang.
Pada tahun 1931, Ruma Bicara (Perdana Menteri) Abdul Hamid bersama Abdul Wahid Karim
tokoh muda Muhammadiyah kelahiran Sumatra barat, mendirikan “Madrasyah Darul Tarbiyah” di kota
Raba. Keberadaan sekolah ini disambut positif oleh Sultan Muhammad Salahuddin dengan memberi
bantuan berupa dana serta sarana pendidikan. Pada tahun 1934, Sultan bersama Ulama dari Batavia
bernama Syehkh Husain Saychab Mendirikan “Madrasah Darul Ulum“ di kampung Suntu Bima. Dua
lembaga pendidikan Islam ini, berhasil mencetak kader Islam yang kelak menjadi tokoh -tokoh yang
berani baik pada masa pergerakan maupun pada era revolusi kemerdekaan.
Pada tahun 1931, pengembangan kualitas dan kuatintas sekolah agama serta rumah ibadah
(Masjid dan Langgar) oleh Sultan diserahkan kepada “Lembaga Syara Hukum”. Lembaga yang sebelum
tahun 1908 merupakan lembaga resmi pemerintah kesultanan yang bernama “Lembaga Syarah Hukum”.
Pada tanggal 16 Maret 1968 lembaga ini berubah statusnya menjadi “Yayasan Islam Bima”. Sumber Dana
Berasal dari “Dana Molu” (Sawah Maulud) sebanyak 200 Ha.
Pada awal pelaksanaan sistem pendidikan modern, Sultan Muhammad Salahuddin mengalami
banyak kendala. Masyarakat yang terkenal taat pada agama, curiga dengan sistem pendidikan yang
berasal dari orang Belanda yang dianggap “Dou Kafi” (Orang Kafir). Untuk mengantisipasi kecurigaan
masyarakat, Sultan Muhammad Salahuddin berusaha mendatangkan guru-guru yang beragama Islam dan
berjiwa nasionalis dari berbagai daerah diluar Bima, antara lain dari Makassar dan Jawa. Guru-guru non
muslim tetap berjiwa nasionalisme diusahakan untuk mengajar di sekolah-sekolah umum. Akhirnya
kehadiran guru-guru tersebut disambut baik oleh masyarakat. Semangat persatuan yang tidak dibatasi
oleh suku dan agama mulai terjalin. Hal ini merupakan pertanda Tumbuhnya semangat kebangsaan di
Bima. Guru-guru yang didatangkan dari luar daerah, antara lain Muhammad Said akhirnya menikah
dengan gadis Ngali Bima dan memperoleh anak antara lain Prof. Dr. Muh.Natsir Said.
Salah satu kebijakan sultan Muhammad Salahuddin yang patut kita hargai ialah memberikan
Beasiswa kepadea pelajar yang berprestasi untuk belajar di Makassar dan kota-kota besar di Jawa, bahkan
ada yang dikirim ke Timur Tengah Pelajar yang diberi beasiswa benar-benar berdasarkan prestasi dengan
tidak mempertimbangkan status sosial dan jenis kelamin. Setelah kembali di Bima mereka tampil sebagai
pemimpin dan tokoh perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan.
Sekolah atau lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga keagamaan Islam dalam
kategori pendidikan formal mulai didirikan di Bima pada tahun 1931, yakni pada saat didirikan Darul
Tarbiyah. Darul Tarbiyah itu dimaksudkan sebagai protes terhadap diskriminasi murid pada sekolah
Belanda, dan sebagai lanjutan lembaga pendidikan non formal yang telah berkembang di Bima sejak awal
penyebaran Islam.
Pada tahun 1935 didirikan madrasah PIB, dan Madrasah Muhammadiyah didirikan pula pada
tahun 1938. Setelah Indonesia merdeka, seluruh lembaga pendidikan formal yang diselenggarakan oleh
lembaga-lembaga kemasyarakatan Islam diperintahkan oleh Sultan Bima untuk diserahkan kepada badan
Hukum Syara Bima. Atas dasar itu Badan Hukum Syara’ mengembangkan lembaga pendidikan Agama
Islam itu tidak hanya di kota, akan tetapi disetiap desa. Pada setiap desa didirikan Madrasah Darul Ulum
dengan mata pelajaran yang tidak berbeda dengan lembaga pendidikan Islam sebelum kemerdekaan.
Para pengajar di Lembaga pendidikan itu terdiri dari para Tuan Guru yang pernah bermukim bertahun-
tahun di Mekkah dan juga orang-orang Bima lulus Darul Tarbiyah. Para mukimin di mekkah itu di
pulangkan ke Bima atas perintah dan biaya Sultan Bima.
Selain Darul Ulum, juga terdapat Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, pendidikan Guru yang
diselenggarakan oleh Badan Hukum Syara, Murid Sekolah Umum Seperti SD, SMP, dan SMA yang
didirikan pada sekitar tahun 1950-an, masih diharuskan oleh orang tua mereka untuk belajar agama Islam
pada madrasah-madrasah tadi. Selain pendidikan formal, masih terdapat lembaga pendidikan non-formal
yang ikut memberi warna agama Islam dalam kehidupan orang Bima. Lembaga pendidikan non-formal
itu mengajarkan agama Islam yang diselenggarakanpada tiap rumah tangga terdapat lembaga “ngaji
karo’a” (mengaji Al- Qur’an) yang mendidik anak umur sekolah mengaji Al-Qur’an yang diajarkan oleh
“guru ngaji” secara sukarela. Murid yang mengikuti ”ngaji karo’a” adalah anak -anak yang berumur antara
5-6 tahun, dan selama tiga tahun anak tersebut harus menyelesaikan pembacan Al-Qur’an 30 juz. Puncak
pendidikan agama pada lembaga “ngaji karo’a” itu ialah “khara karo’a” (khataman Al-Qur’an atau tamat
mengaji) yang dibarengi dengan acara khitanan bagi anak yang bersangkutan.
Selain lembaga pendidikan “ngaji karo’a” dalam lingkungan rumah tangga, terdapat pula lembaga
pengajian Al-Qur’an dari rumah ke rumah, masjid dan langgar. Pengajian itu hanya menitik beratkan
pelajarannya pada hukum Islam dan tasawuf. Pendidikan yang terakhir inilah yang mengajarkan secara
langsung sistem Zakat dalam Islam, sistem pembagian hak atas hasil-hasil pertanian sepanjang kaitannya
dengan kegiatan ibadah dan upacara agama.
SIMPULAN
Bima sebagai sebuah kerajaan memiliki peranan penting dalam panggung sejarah di wilayah
Indonesia bagian timur khusunya di wilayah Nusa Tenggara. Tampilnya Bima sebagai wilayah kesatuan
pemerintahan yang berlandaskan Islam tidak terlepas dari perjalanan sejarah panjang dan berliku. Bima
yang salah satu pusat perdagangan bebas sekaligus penyambung antara wilayah Indonesia bagian tengah
ke Indonesia bagian timur menghadapi banyak rintangan baik yang datang dari internal dan eksternal
kerajaan. Kemelut politik di kerjaan Bima memberikan peluang berdirinya kesultanan Bima, 5 Juli 1640
menjadi momentum penting perjalanan daerah bima yang menandai perubahan dalam system
pemerintahan, politik, dan agama bagi masyarakat Bima hingga berakhirnya kesultanan pada tahun 1951
pasca wafatnya sultan Muhammad Salahudin. Lebih dari tiga abad kesultanan Bima memainkan peranan
penting dalam peraturan sejarah dan budaya nusantara, bahkan dunia. Silih berganti para sultan, Rumah
bicara, dan para ulama bahu membahu dengan rakyat membangun sendi-sendi kehidupan yang kental
dengan nuansa islam. Lebih dari tiga abad pula mereka berjuang dengan cucuran darah dan derai air mata
melawan para penjajah. Patah tumbuh hilang berganti, konsistensi perjuangan tetap ditunjukkan demi
persada pertiwi dan rakyat.Kecemerlangan itu berahkir di masa api proklamasi terus membahana di
Persada ibu pertiwi. Keberadaan Bima di dalam mata rantai pelayaran dan perdagangan di Nusantara
tidak terlepas dari letak kepulauan Sunda Kecil secara keseluruhan. Kepulauan ini dengan persediaan air
minum yang baik kualitasnya dan makanan yang dimilikinya dapat melayani pedagang-pedagang Melayu
dan Jawa dan sekaligus tempat beristirahat dalam jalur perlayaran dari barat ke timur. Di sini mereka
menukarkan pakaian yang mereka bawa dari Malaka dan Jawa dengan rempah-rempah. Sedangkan Bima
memasok kayu celup (dye-wood) untuk pedagang Malaka yang kemudian di ekspor ke Cina. Boleh jadi
karena pentingnya Bima, nama Bima lebih sering digunakan oleh orang Portugis dan Belanda untuk
menyebut keseluruhan pulau Sumbawa.
Padahal di Sumbawa terdapat kerajaan lain yakni Dompu, Sanggar, Tambora, Pekat dan Sumbawa.
Ditinjau dari perkembangannya, kerajaan Bima tentu saja harus diletakkan di dalam kerangka
hbungannya dengan kerajaan-kerajaan lain di Sumbawa dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara,
khususnya Gowa di Sulawesi Selatan. Di samping itu menarik juga untuk menggambarkan interaksi
kerajaan Bima dengan orang Eropa yang dalam perkembangannya kemudian masuknya wilayah Bima ke
dalam wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa kepemimimpinan Sultan
Muhammad Salahuddin, Kesultanan Bima banyak menghadapi berbagai perlawanan terhadapat penjajah
yakni Belanda dan Jepang. Kehidupan masyarakat Bima banyak dipengaruhi oleh Islam sebagai agama
resmi yang diakui oleh pemerintah kesultanan. Hal ini tercermin dari implementasi kehidupan sehari-hari
masyarakat Bima masa Sultan Salahuddin lebih mengedepankan nuansa Islami. Kehidupan politik
pemerintahan yang banyak dipengaruhi oleh masuknya Belanda dan Jepang, tidak membuat Bima
kehilangan marwah sebagai sebuah wilayah yang berkuasa secara independen. Kesultanan Bima harus
bergabung dengan NKRI. Empat belas sultan mewakili empat belas generasi telah menorehkan sejarah
panjang dan tatanan nilai serta memberi arti bagi jalan panjang sejarah tanah Bima. Kesultanan Bima
dilahirkan oleh sejarah dan diakhiri juga oleh sejarah itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Gani Abdullah, A. (2005). Badan Hukum Syara Kesultanan Bima. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.
Gani Abdullah, A. (2015). Bima Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Bima Genta Publishing.
Haris, T. (2004). Kerajaan Tradisional di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Ismail, M. H. (2014). Raja dan Sultan Bima. Bima: Pemerintah Kabupaten Bima.
Malingi, A. (2010). Kiprah Raja-Raja Bima. Bima: Pemerintah Kabupaten Bima.
Nasiwan, C. dan. (2012). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak.
Prastowo, A. (2011). Memahami Metode-Metode Penelitian: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis.
Yogyakarta: AR-Ruzz Media.